-Rindu POV-
Aku terdiam saat pria buta itu membukakanku pintu mobilnya dan menyuruhku untuk masuk ke dalam rumahnya. Bahkan aku sedikit aneh menyebut bangunan di depan mataku ini dengan 'rumah', karena lebih berbentuk seperti istana negara.
Akhirnya aku memutuskan keluar dari mobil itu karena terlalu takut melihat tatapan para pria berotot dan bertubuh tinggi di sekeliling rumah ini. Untuk masuk ke dalam mobilnya saja sudah dengan paksaan, bagaimana caranya aku meminta pulang? Lagipula tujuanku bukan rumahku.
Aku berjalan mengikuti Akmal menuju sebuah pintu besar yang terbuka dengan dua pengawal yang menahannya untuk pemilik rumah ini. Mataku tidak fokus ke depan. Aku terus menengok ke kiri dan kanan, mencoba memahami bagaimana ada rumah dengan halaman seluas ini. Kupikir pesawat pun bisa mendarat di sini. Salah satu dari banyak nya bodyguard itu mengikuti di belakang kami.
Akmal berjalan di depan, tanpa ragu, tanpa tongkat.
Lalu ia masuk ke dalam rumah itu. Pengawal yang mengikuti kami berhenti tepat di depan pintu dan memberi hormat, lalu pintu menutup. Tak ada lagi pengawal yang mengawasi di dalam sini. Hanya ada bangunan luas yang mewah dan dia.
Di tengah-tengah langkahnya, Akmal bicara, "di sini gak ada siapa-siapa.".
Aku diam. Bingung harus mengatakan apa.
Ia mulai menaiki tangga, aku masih mengikuti di belakang.
Lalu kami tiba di depan sebuah pintu berwarna biru tua.
"Masuk aja duluan, gue mau ganti baju." katanya.
Aku jawab, "iya."
Lalu Akmal berjalan lebih jauh ke depan dari arah kami berjalan tadi dan memasuki sebuah pintu yang lain. Aku sedikit tidak enak untuk membuka pintu di hadapanku. Ini pertama kalinya aku masuk ke rumah laki-laki.
Tapi rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Di balik pintu ini ada ruangan apa, ya, kira-kira?
Aku membuka gagang pintu itu dan melangkah masuk, kemudian menutupnya kembali. Hening. Polos. Gelap. Hanya ada beberapa rak buku besar, 1 meja dengan dua kursi di tengahnya, dan jendela.
Berbeda dengan warna pintunya, ruangan ini justru berwarna putih polos.
Aku mengeluarkan ponsel dan menaruh tasku di salah satu kursi itu, kemudian duduk.
Tidak ada pesan masuk, sepertinya Yohana sedang sibuk dengan keluarganya. Dan pasti ayah sedang bertengkar dengan ibu. Ah, sudahlah. Aku terlalu muak memikirkannya.
Kutaruh ponselku di atas meja dan beranjak dari kursi itu kemudian mendekati jendela.Wah. Benar-benar istana. Luas rumah nya terlihat jelas dari atas sini.
Lalu aku mendengar suara pintu terbuka, Akmal rupanya. Aku kembali duduk.
"Kita mau ngapain?" katanya sambil menarik kursi di depanku.
"Lo yang bawa gue kesini, lo juga yang nanya."
Akmal hanya diam. Lalu seorang pelayan mengetuk pintu yang tak tertutup dan masuk sambil membawa nampan berisi jus stroberi dan beberapa camilan, dan meletakkan itu di atas meja ini lalu keluar lagi.
"Ajarin gue, ya."
Aku diam. Jangan-jangan pria ini mau menyuruhku mengajarkannya bermain gitar?
"Bener. "
Akmal mengambil gitarnya, yang ternyata ada di pojok ruangan ini, tertutup kain yang sedikit berdebu. Sepertinya sudah lama dibiarkan disana.
"Gue biasanya gak main gitar di sini, sih." katanya kemudian menaruh gitar itu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at Me
Teen Fiction"Iya. Tertawalah. Lupakan tentangku yang tak akan pernah bisa melihatmu bahagia. "