Wiratama☯

35 6 0
                                    

"Sendirian nak?" Tanya pria paruh baya yg kini sudah berada dihadapan Anne.

"Papah?" Gadis mungil itu sontak saja berteriak ketika melihat siapa yg duduk didepannya kini.

Ia sudah menghindari orang tuanya selama hampir satu tahun. Bukan ingin durhaka, mereka hanya ingin memberi waktu orang tuanya untuk bisa berfikir rasional. Tak lagi mementingkan ego mereka masing-masing dan mulai mengingat anak-anak mereka.

"Al kemana kok gak nemenin Ara?" Ayah dari seorang Anne kembali membuka suara yg menyadarkan lamunan sang putri.

"Al ada dirumah kok pah, tadi Ara kesini sama temen-temen aja"

"Oh ya? Lelaki atau perempuan sayang?" Kini lelaki itu mulai mencoba menciptakan kehangatan diantara mereka berdua.

"Cewek pah, Fanya sama Rin tadi yg nemenin Ara" jawab Anne jujur.

Kini mata gadis itu meneliti lingkungan sekitarnya siapa tau mama tirinya mengikuti langkah ayahnya hingga kesini.

Matanya tertuju dan terpaku pada satu objek diseberang sana. Lelaki tampan dengan gaya dinginnya memakai kemeja putih yg dibalut jas hitam legam.

Lelaki itu berjalan dengan gaya dinginnya, sesekali tersenyum mendapati pengunjung yg datang. Jarang sekali gadis mungil itu melihatnya tersenyum.

"Liat apa sih Ra?" Tanya yg ayah memudarkan kembali lamunan sang anak.

"Ga ada kok pah"

Lelaki dingin itu melirik padanya terlihat ia sedang sedikit demi sedikit ia menghilangkan rasa penasaran pada sang gadis mungil.

Dia sama Om-Om? Maksudnya apa? Dia beneran pelacur? Simpanan lelaki?

Hampir lima kali ia menepikan pikiran-pikiran kotor itu dari otaknya. Tetap saja sang otak yg tak sejalur dengan hati pun memberontak.

Dengan gaya coolnya ia bisa menutupi segala keingin tahuannya pada sang predatornya. Ya benar, sometimes dia menganggap Anne sebagai predatornya.

Seketika lelaki berdarah dingin itu tersadar manik mata milik sang predator kembali menoleh hingga ia harus segera memalingkan matanya dari sana.

Gadis mungil itu merasa diperhatikan sejak tadi, dengan segera ia menoleh pada arah dimana ia dipandang. Ia melihat sang pangeran es tengah berdiri disana.

Ga mungkin bang Devan liatin gue, batin Anne.

Terkadang kita tak usah berharap kepada sesuatu yg mustahil bahkan sangat mustahil.

Anne berpamitan pada sang ayah untuk segera berpulang. Hingga ia melihat punggung sang ayah telah berlalu dari pandangannya. Ia menuju tempat dimana mobilnya diparkirkan.

Ia mengendarai mobilnya, menjauh dari apartemen sang pujaan hati. Wajar saja, ia belum tau bahwa apartemen itu benar-benar hak milik Devan.

Tapi tunggu, kenapa dia tadi nyapa pengunjung gitu? Aneh ga sih, batinnya.

Pikirannya mulai terganggu dengan bisikan-bisikan mengenai hal yg tadi terjadi padanya.

15 menit berlalu, ia telah tiba didepan rumahnya, memarkirkan mobilnya digarasi lalu dengan segera memasuki rumah miliknya dan milik sang kakak.

Ia segera memasuki kamarnya, kamar Vian nampak sepi, mungkin sang empu sedang hang out dengan sang Dokter.

Ia menyapa hangat kasur posesifnya sembari meminta maaf telah meninggalkannya sedikit agak lama. Ia segera memeluk boneka kesayangannya dan melelapkan diri disana.

AdevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang