S2|06 - Candy is Not Mine

266 16 2
                                    

Selamat membaca, teman^^

Matahari baru saja memunculkan dirinya tapi Wildan sudah keluar rumah untuk jogging. Ia menuju taman yang dekat dengan rumah ayahnya. Selama tinggal di Bogor ia sering melakukan aktivitas ini. Dulu ia berlari karena ia seakan berlari jauh meninggalkan Chitanda.

Tidak ada gunanya ia berlari begitu. Lari dari kenyataan dan masalah. Ia membenci dirinya yang dulu. Ia yang pengecut, lemah, dan tidak bertanggung jawab.

Wildan terus menambah kecepatan berlarinya. Baru saja ia bertemu kembali dengan Chitanda, ia harus pergi lagi meninggalkannya. Apakah ia tidak ditakdirkan berjodoh dengan Chitanda?

Semakin dipikirkan, semakin ia kecewa dengan dirinya. Kenapa dulu ia meninggalkan Chitanda yang sekarang sudah menjadi milik orang lain.

Wildan berhenti, napasnya terengah-engah. Jantungnya sudah tidak kuat, butuh istirahat. Tidak terasa ia sudah sampai di taman. Padahal seharusnya ia tiba sekitar 7 menit lagi. Secepat apa ia berlari?

"Gue ... menyesal .., Chit," ucap Wildan di sela-sela ia mengatur napas.

Setelah napasnya teratur, ia mendudukkan diri di atas rumput-rumput. Ia meluruskan kaki. Memandangi taman yang sangat luar nan asri.

Semakin lama, taman ini semakin ramai pengunjung. Dari mulai orang-orang yang berolahraga sampai anak-anak yang bermain.

Wildan masih tetap duduk di sana. Namun, ia sadar ia harus segera pulang ke rumah bundanya.

"Nggak apa-apa, kok ... iya ... aku tutup ya, bye."

Samar-samar Wildan mendengar suara yang persis dengan suara Chitanda. Lalu, dengan cepat ia menoleh ke sunber suara dan benar. Chitanda sedang jogging dengan earphone portable melekat di telinganya.

Chitanda memelankan kecepatan berlarinya lalu berhenti tak jauh dari posisi Wildan. Mereka tidak menyangka akan bertemu di sana.

Chitanda langsung menghampiri Wildan yang hanya berdiri diam menatapnya.

"Lo di sini juga?" tanya Chitanda.

"Iya, kebetulan taman ini dekat dengan rumah bokap gue."

Chitanda mengangguk.

"Lo udah biasa ke sini?" tanya Wildan.

Chitanda beranjak duduk di atas rerumputan dengan maksud mengajak Wildan mengobrol lebih lama. "Sering banget. Gue sama Aldi biasa jogging di sini tapi hari ini dia nggak dateng."

Wildan memperhatikan Chitanda lalu ikut duduk di sampingnya. Hatinya sedikit pilu mendengar perkataan Chitanda. Mungkin hubungan mereka sangat baik. Melihat Chitanda tersenyum sekarang yang mungkin sedang mengingat hal-hal menyenangkan bersama Aldi membuat Wildan tersenyum getir. Chitanda sudah bahagia sekarang, Wildan tidak ingin merusaknya.

"Wildan," panggil Chitanda yang membuat Wildan menoleh. "Sekarang lo beda, ya."

Wildan menaikkan sebelah alisnya. "Beda?"

"Iya, dulu lo itu pecicilan, suka ngusilin gue, banyak omong tapi sekarang yang gue liat, lo itu udah agak dewasa."

Wildan terkekeh. "Semua orang pasti berubah, Chit."

Chitanda tersenyum. "Gue suka kita berpisah saat itu."

Wildan mengamati Chitanda. Ia sudah berkelana di pikirannya tentang maksud Chitanda. Maksudnya, Chitanda suka bahwa ia pergi?

"Oh." Wildan memalingkan wajah.

"Perpisahan itu ternyata membuat banyak perubahan baik dalam hidup kita masing-masing."

Wildan kembali menatap Chitanda.

"Gue sadar bahwa Allah sangat sayang sama kita. Allah yang beri gue waktu untuk ditinggalkan bukan berarti menjadi perderitaan. Namun, Allah ingin gue dan lo bisa sali memperbaiki diri," ucap Chitanda seraya menatap Wildan.

Wildan kembali teringat tentang seperti apa dirinya dulu. Ia tidak tahu apakah Chitanda hanya menyenangkan diri sendiri atau benar-benar bersyukur. Namun, ia harus minta maaf pada Chitanda.

"Maafin gue ya, Chit."

"Maaf?"

"Gue dulu pengecut. Karena gue yang buat lo sakit tapi gue malah melarikan diri. Maafin gue," kata Wildan dengan penuh rasa bersalah.

Tidak ada keraguan dalam manik mata Wildan. Ia benar-benar merasa bersalah. Sehingga, Chitanda larut dalam buaian mata itu lalu ia tersenyum.

"Gue udah maafin lo, kok. Kita dulu sama-sama labil dan sulit memutuskan sesuatu dengan bijak. Gue yakin itu karena kita tumbuh sama-sama."

Wildan tidak menyangka bila Chitanda bisa berkata seperti itu. Padahal, Chitanda sering menjauhi dan membencinya.

"Karena lo minta maaf, gue juga minta maaf karena dulu gue sering benci dan suka ngejauhin lo," kata Chitanda.

Wildan tersenyum sebagai jawaban. Mereka senang karena hari ini kesalahan di atantara mereka sudah dibersihkan. Mereka juga senang karena mereka menjadi lebih memahami perasaan masing-masing. Mereka berharap tidak ada rasa egois dan saling membenci di antara mereka.

"Kita dulu labil banget ya, nggak, sih?" ucap Chitanda tertawa.

Wildan ikut tertawa. "Iya, apalagi lo yang nyebelin pas PMS."

Keduanya semakin tergelak tawanya. Sepanjang hidup mereka, baru kali ini mereka bisa menertawai hidup mereka. Semakin bertambah dewasa, ternyata semakin luas pandangan serta semakin baik cara mereka menanggapi suatu hal.

"Gue seneng banget kita berdua berubah ke arah yang lebih baik." Chitanda menghela napas lega dengan keadaan sekarang.

"Hampir semuanya berubah tapi nggak termasuk perasaan gue ke lo, Chit." Perkataan Wildan membuat Chitanda mengubah garis lengkung menjadi mendatar.

Mereka bertatapan saling menelusuri ke dalam manik mata di hadapan mereka masing-masing. Chitanda melihat kesungguhan di sana tapi juga ada rasa menahan perasaan sedih. Apakah Wildan mencintainya yang sudah dimiliki orang lain. Chitanda tidak tahu perasaan apa itu. Cinta kepada perempuan atau sayang kepada sahabatnya. Terlebih dari itu, ia harus segera menyudahi topik ini. Ia tidak ingin semua yang sudah terjalin menjadi hancur.

"Udah siang, nih. Gue pulang dulu, ya." Chitanda beranjak dari duduknya.

"Naik apa?" tanya Wildan yang tidak ingin Chitanda pergi begitu cepat.

"Mobil."

"Kalau gitu gue nebeng, ya. Sekalian mampir ke rumah lo dulu," pinta Wildan pada Chitanda.

"Mau ngapain?"

"Silaturahmi."

Chitanda terkekeh dengan alasan Wildan yang sama seperti dulu. Namun, kali ini Chitanda tidak menolak permintaan Wildan itu. Ia sangat menghargai seseorang yang ingin mempererat silaturahmi. Sejauh ini, Chitanda juga merasakan hal tang sama. Perasaannya kepada Wildan juga tidak berubah. Wildan sahabat yang paling setia untuknya.

"Yaudah, ayo!" ajak Chitanda lalu ia menarik lengan Wildan karena Wildan ingin dibantu berdiri padahal ia bisa berdiri sendiri. Dasar.

Thanks for reading, guys^^

PHO Vs PHP [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang