Denting sendok dan garpu yang saling beradu diatas piring terdengar, menggantikan senyap yang seharusnya terisi oleh resonansi vokal yang saling bertukar dengan kelakar itu telah menghaki sejak beberapa menit lalu.
Si bungsu yang memiliki ego paling rendah pun berdehem sebagai improvisasi, berusaha menarik perhatian dari kakak keduanya, "kak ... kemarin kak Melvin basket loh."
Konversasi Gaffin mampu menarik paksa atensi Jia, apalagi jika bukan karena satu nama si pengisi hatinya disebut.
Sebelah alis Jia terangkat, dalam keterdiaman dan tatapannya, ia pun tengah berpikir keras mengenai Melvin yang lebih memilih asyik dengan kegiatannya daripada menuruti setiap aksara kata yang ia jejalkan terus menerus untuk pemuda itu.
Menyadari Gaffin masih menunggu respons darinya, ia pun hanya berdehem seraya mengangguk. Namun, singkatnya tanggapan yang ia beri tak ayal malah membuat Gaffin semakin berangsur mendekat dan berbisik, "tumben kakak kasih izin?"
Mendapati si bungsu yang sedang berulah, Meisya pun menggeleng, kontras sekali dengan Jia yang malah terkesan malas berbicara, "makan, Gaffin.”
Inisiatif Meisya memilih menghentikan Gaffin daripada persisten menerima aura tak nyaman yang mulai terurai dari Jia.
Jia menegakkan daksa kala suara yang begitu familiar merasuki rungunya, ia pun memindai atensi untuk berfokus pada kakak tertua, netra keduanya saling bersirobok dengan Meisya yang seolah mengirimkan pertanyaan 'kenapa?' melalui tatapan.
Menatap kedua iris sang kakak, membuatnya kembali teringat tentang halusinasinya kemarin, seketika merinding pada kuduknya terasa. Jia sedikit terperanjat, spontanitas ia pun meraba lengan kirinya yang terlapisi plester dengan perlahan.
Sebuah kalimat tanya yang menuntut untuk di puaskan pun menghinggapi batinnya, kenapa kemarin dia melihat wujud dan suara kakaknya?
Mengapa bukan orang lain? Sang Ibu, misalnya? ah! bahkan, itu lebih mengerikan. Ia pun hanya mampu menggeleng pelan sebagai kausalitas tidak ingin pusing.
"Jia,"
Baru saja ia mengenyahkan impresi cendala yang bermuara pada isi kepala, sang kakak malah menariknya pada sebuah konversasi yang jarang sekali terjalin antar kedunya.
"Bunga kamu kenapa di buang? bunga itu baru datang sore kemarin, kan?"
Gadis itu abstain, daksanya berubah kaku, ia mulai di serang panik, kenapa sang kakak bisa mengetahui perkara bunganya? ia harus menghentikan ini, agar sang kakak tidak berbicara padanya semakin jauh. Tanpa ada minat menjawab, Jia menatap Meisya dengan tajam. Seakan-akan berkata lewat tatapan matanya.