「comme un cauchemar」

2K 351 475
                                    

    Happy reading♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

   
Happy reading♡

Nayanika yang tengah terpejam mulai bergerak-gerak skeptis, merasakan hembusan anila yang membelai paras dahayunya dengan manja.

Nuansa lembayung senja menebarkan rona jingga dan kuning keemasan yang tengah menyatu padu di cakrawala, menandakan telah tiba waktu merendahnya mentari. Menyapa penglihatan, kala ia membuka mata secara impulsif.

Di balik jendela yang malang itu, daksanya berdiri dengan tangan bersedekap. Menikmati jamuan elok yang telah di sajikan oleh Sang Kuasa, serta mampu mengundang ketenangan pada kalbunya.

Atmosfer hening yang tengah ia nikmati sedikit berbeda dari hari sebelumnya, ia menggeram tertahan, kala mendengar konversasi penuh dengan arogansi samar-samar terdengar dari lantai bawah.

Kekesalannya berlanjut, saat deritan berisik yang khas dari pintu kamarnya terdengar. Menunjukan bahwa pintu bercat putih itu telah terbuka.

Menampilkan hanya sebuah kepala yang melongok dari balik pintu. Ditengah perasaan jengahnya, ia pun melirik pintu kamar dari ekor mata.

"Kak?"

Jia berdehem kala bariton sang adik yang ia dengar, selaku pelaku yang mengusik rutinitasnya, "..., ada tukang bunga di depan."

Ah, bunganya sudah datang, ya.

Lagi-lagi ia hanya berikan deheman sebagai respons. Gaffin pun berlalu, sebab ia merasa tugasnya telah tersampaikan langsung kepada yang bersangkutan.

Tubuh yang berbalut piyama hitam itu bergerak keluar kamar, namun langkahnya sengaja ia perlambat saat hendak menuruni tangga, raut wajahnya pun persisten datar.

Satu hela nafas terhela dengan kasar, memilih membentengi diri dengan perisai penuh abai. Itu lebih baik untuk melindunginya dari serangan tubir manusia penyandang gelar keglamoran. Maka, akan ia lapisi jua perisainya dengan balutan keacuhan.

Melewati ruang tengah yang berisikan sekumpulan orang-orang yang saling beradu menyombongkan prestasi akademik anak mereka.

Jia berjalan lurus tanpa menyapa, tanpa menengok, bahkan tanpa memperdulikan atensi Ibunya disana. Disertai amarah yang mulai menyubur dalam diri. Tanpa disadarinya, ia juga tengah memantik amarah sang ibu.

Setelah menemui si pengantar bunga, ia kembali masuk rumah. Masih berjalan angkuh dengan wajah datar tanpa berminat untuk bersikap sopan di hadapan para tamu Ibunya.

"Itu Jia kan?"

Ibu Jia hanya memberi anggukan dan mengulas senyum paksa sebagai respons.

Can I? - Mark Lee✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang