SATU

5 0 0
                                    

-Adelleisa Timrita-

"Selamat pagi, Jan" aku mengambil susu di kulkas dan duduk bersama Jan, abangku, di meja makan.

"Selamat pagi"

Aku dan Jan menyantap sarapan kami. Hanya sereal, tapi bersama Jan, sarapan sereal seperti sarapan di restoran.

"Hari ini aku pulang terlambat. Aku akan titipkan kunci dengan bibi Larissa" Jan menatapku dengan penuh cinta. "Perbaiki dasimu".

Aku mengangguk. Serealku sudah habis dan aku berjalan kedapur untuk mencuci mangkuk dan gelas.

"Letakkan saja disitu, nanti aku yang cuci" Jan menyuruhku untuk pergi ke sekolah sekarang. Aku meletakkan mangkuk kotor itu dan berlari memeluk Jan dari belakang.

"Aku sayang padamu, Jan"

"Ya, aku juga"

Aku mengambil tas dan pergi ke sekolah jalan kaki. Tidak jauh antara rumah dan sekolah, kira-kira satu kilometer lebih. Bagiku tidak jauh karena sudah rutinitas.

Adelleisa Timrita, itu aku. Orang-orang memanggilku Timi. Aku tinggal bersama abangku, Jan, di rumah sederhana kami. Dahulu kami tinggal di apartemen di kota lain, saat itu ibu masih hidup. Setelah ibu meninggal, ayah tidak mampu membayar sewa apartemen. Dia bekerja seharian dan kelelahan. Saat itu aku dan Jan sama-sama masih bersekolah. Kemudian sahabat ibu, bapak dan ibu Yusandi, datang dan memberikan rumah lama mereka kepada kami, rumah yang aku tempati saat ini. Mereka berdua menjadi pembisnis sukses dan pindah ke luar kota.

Kami pindah ke kota ini dan ke rumah yang sekarang. Semua berjalan baik-baik saja. Jan mendapat beasiswa S1 dan ayah sangat gembira. Setidaknya beban ayah mulai berkurang. Lalu kemudian Jan mendapat beasiswa untuk S2 ke luar negeri. Ayah tidak setuju. Mereka berdua bertengkar hebat suatu malam dan dua hari kemudian Ayah meninggalkan kami berdua. Jan tidak mengambil beasiswa S2 dan dia mencari pekerjaan. Untunglah dia mendapat pekerjaan yang lumayan bagus, setidaknya cukup untuk kami berdua.

Aku tidak tahu apa yang Ayah dan Jan debatkan saat itu. Setelah perkelahian itu, Jan mengurung diri di kamarnya selama dua hari, tidak makan dan keluar kamar. Ayah juga berubah. Selama dua hari dia pulang dengan bau alkohol dibajunya dan kemudian ia pergi begitu saja meninggalkan Jan dan aku. Aku tahu ini sangat berat bagi Jan, sampai suatu hari Tatiana hadir dalam hidup kami. Dia adalah teman kuliah Jan dulu.

Setahun sebelum lulus, Jan berpacaran dengan Tatiana. Mereka sempat putus ketika lulus dan berpacaran lagi. Aku sangat tahu betapa Jan menyayangi Tatiana. Aku sangat senang akhirnya Jan menemukan seseorang yang dapat membuatnya bahagia kembali, setelah apa yang ia lalui. Tatiana tahu tentang keadaan kami dan dia selalu ada untuk kami.

Tatiana sempat tinggal bersama kami selama dua bulan. Saat itu dia mengurus berkas untuk beasiswanya. Saat itu adalah saat yang paling bahagia bagi kami karena semenjak Tatiana tinggal bersama kami, Jan dan aku seperti mendapatkan kasih sayang ibu kembali. Setiap sebelum tidur, ia selalu bercerita kepadaku tentang Jan, bagaimana ia sangat menyayangi Jan dan berharap suatu saat dapat mendampingi Jan untuk selamanya.

Sampai suatu ketika, ia harus kembali ke kotanya. Saat itu Jan tidak sempat mengantarnya karena pekerjaan mendadak dan aku harus sekolah. Diperjalanan, Tatiana menyelamatkan seorang nenek yang hampir tertabrak mobil dan Tatiana tidak selamat. Jan sangat terpukul, begitu juga aku. Orangtua Tatiana menyalahkan Jan karena tidak bisa menjaganya dan Jan begitu merasa bersalah. Semenjak itu semuanya kembali berubah. Terkadang Jan tidak sengaja melukaiku, tapi tidak masalah. Jan menyayangiku, begitu juga aku.

Aku tidak ingin Jan kehilangan siapapun lagi.

Aku ingin dia bahagia.

Untuk selamanya.

My DearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang