DUA

2 0 0
                                    

-Adelleisa Timrita-

"Tambahkan sedikit warna hijau tua disana, ya, disitu" Kia mengajariku memadukan warna dalam lukisan. Kia adalah pelukis yang hebat, dengan tangannya, apapun menjadi sangat indah. Kami berdua sedang mengerjakan tugas seni, membuat lukisan.

Kia melukis siluet sepasang kekasih dengan pemandangan matahari terbenam. Entahlah apa ada hubungannya dengan Aron, tapi lukisannya sangat indah. Aku melukis, entahlah, hutan? Taman? Aku tidak tahu. Lukisanku sangat berantakan.

"Selesai. Bagaimana denganmu?" tanya Kia sambil mengemas kuas dan catnya.

Aku menghela nafas. "Bisa dilihat, tidak indah".

Kia memelukku dari belakang. "Hei, itu bagus. Kau sudah mulai ahli. Lihat, seandainya lukisanmu benar nyata, aku yakin itu akan jadi tempat favoritku".

"Hanya saja caramu membuat batu, itu seperti batu nisan" tambahnya.

Aku tertawa kecil. "Jadi jika lukisanku ini mirip tempat pemakaman, apakah akan jadi tempat favoritmu?"

Kia melepaskan pelukannya. "Hei, lukisanmu itu sudah bagus. Kau melukis sebuah tempat yang penuh ketenangan".

Aku rasa lukisanku sudah cukup, tidak perlu ditambah lagi. Aku mengemas peralatanku dan membersihkan bekas-bekas cat.

Kemudian terdengar suara mobil, yang artinya Jan sudah kembali.

"Aku akan kembali"

Aku keluar dari kamar dan membukakan pintu untuk Jan. Aku sudah menyiapkan air hangat untuk dia mandi.

Jan masuk dan melepas sepatunya. "Kemari" dia memelukku dan mencium keningku.

"Cepat mandi sana, sudah ada air hangat" aku menyimpan sepatu Jan di rak.

"Apa dia disini?"

"Kia? Ya"

"Aku bawakan makan malam untuk kita"

Aku mengangguk dan menyiapkan makan malam. Lalu aku ke kamar dan Kia sedang berbaring di kasurku.

"Kia, makan malamlah bersama kami. Jan membawakan kita dumpling"

Kia melompat dari kasur. "Benarkah? Ah, itulah kenapa aku mencintai Jan". Ia berlari ke meja makan dan berteriak. "Jan! Aku mencintaimu!"

Jan membalas dari kamar mandi. "Ya, aku juga!"

Kalian bertanya kenapa aku memanggil abangku dengan namanya? Ya. Semenjak ayah meninggalkan kami, Jan selalu marah apabila aku memanggilnya dengan 'abang' atau 'kakak'. Dia bilang, "bisakah memanggilku dengan namaku saja!". Jadi aku dan sahabatku memanggilnya Jan. Katanya, panggilan 'abang' atau 'kakak' mengingatkannya pada ayah dan ibu, dan ia tidak mau terlena dengan masa lalu. Tapi Jan selalu mengajarkanku untuk hormat kepada yang lebih tua. Jan adalah yang terbaik!

[...]

Kia begitu bersemangat menghabiskan dumpling. Jan dan aku hanya melihatnya keheranan. Dia tidak sadar kalau kami berdua memperhatikannya daritadi.

"Jamn..ampamkam.." Kia berbicara dengan mulut penuh dumpling.

Jan menghela nafas. "Timi, aku rasa ada yang berbicara. Kedengarannya mulutnya sedang dipenuhi makanan".

Aku tersenyum. "Sudahlah, Jan. Mungkin hanya lebah atau lalat yang terbang"

Kia menatapku dan Jan. Dia berhenti mengunyah dan meletakkan piringnya dimeja yang membuat Jan dan aku terkejut. "Aku ini punya telinga! Aku hanya mau bertanya apakah aku bisa menukar kau dengan Sondre".

Jan menaikkan alisnya sambil memakan dumplingnya. Aku mengambil piring Kia dan berkata "Aku tidak akan menukar Jan dengan Sondre demi sebuah dumpling".

Kia berusaha mengambil piringnya. "Tapi jangan ambil dumplingku. Hei, kembalikan!".

Jan hanya tertawa. Ia meninggalkan kami dan kembali dengan membawa dumpling lain.

Aku menyerah dan memberikan piring Kia kepadanya. Hanya tinggal satu dumpling tapi ia begitu takut. "Terima kasih, Timi" Kia memakan dumpling terakhirnya.

"Aku akan mengantarmu pulang. Tidak baik seorang gadis pulang sendirian malam hari" kata Jan sambil memegang setoples dumpling.

Kia menatap Jan dengan serius. Kemudian ia menoleh kearah toples yang dipegang Jan. "Jan kau terlalu baik. Berikan toples itu, aku bisa sendiri".

Jan berdiri dan berjalan menuju pintu. "Cepat aku akan mengantarmu"

Kia mengejar Jan. "Jan berikan toples itu, rumahku disebrang sana, kenapa harus diantar". Kia merebut toples dumpling dari Jan.

Mereka berdua berebut toples itu. "Aku tidak akan membiarkanmu memakan dumpling bibi Larissa dan Sondre".

"Mereka tidak akan mau ini, hei, Jan!". Mereka berdua terus berebut membawa toples itu walaupun tengah menyebrang jalan. Aku menggelengkan kepala dan mengemaskan piring kotor di meja makan.

Kia adalah teman pertamaku saat aku pindah kemari. Rumahnya ada diseberang jalan. Dia sangat baik dan lucu. Dia bukan hanya sahabatku, dia adalah saudariku. Ia tinggal bersama bibinya, bibi Larissa dan abangnya, Sondre. Orangtuanya menitipkan abangnya dan ia dirumah bibi Larissa, namun mereka tidak pernah kembali sampai sekarang. Dibalik dirinya yang ceria, ternyata hidupnya juga tidak seceria itu. Membayangkan diriku tidak bertemu dirinya adalah hal yang menyedihkan bagiku.

"Timi?" Aku terkejut ketika Jan memecahkan lamunanku dan piring yang kubawa jatuh kelantai dan pecah. Aku cepat-cepat mengumpulkan pecahan piring itu dan tidak sengaja memegang pecahan tajam, yang membuat jariku terluka.

Jan marah dan menyuruhku kembali ke kamar. "Kau, kau pikir piring ini tidak melukaimu, hah! Kembali ke kamarmu, sekarang!".

Aku tidak mempedulikannya dan tetap mengemas pecahan piring itu. Jan mendorongku dan tidak sengaja pecahan yang dipegangnya melukai lenganku.

"Apa kau tuli! Kembali ke kamarmu!"

Aku kembali ke kamar dengan menahan darah lukaku. Aku mengobatinya sendiri. Semenjak ditinggalkan ayah, Jan menjadi emosional. Dia tidak ingin aku terluka sedikitpun. Jan sudah kehilangan banyak orang dalam hidupnya dan masih merasa bersalah atas kematian Tatiana. Dia tidak ingin kehilanganku juga. Dia tidak ingin aku terluka. Aku tidak pernah menganggap luka fisik yang Jan berikan kepadaku adalah siksaan, aku menganggapnya sebuah kasih sayang. Setelah dia melukaiku, dia akan datang ke kamarku dan menyesal. Aku selalu berpikir untuk apa ia menyesal, dia hanya ingin aku baik-baik saja.

Tok..tok..

Aku melihat Jan membuka pintu kamarku. Dia kemudian duduk disampingku. Kami terdiam untuk beberapa saat.

"Dengar, aku tidak marah kepadamu karena seluruh bekas luka ini. Aku..." Jan memelukku sehingga aku berhenti bicara.

"Kau tahu, hanya kau yang aku miliki sekarang. Apa..apakah kau pantas menerima ini? Tidak. Aku sangat menyayangimu lebih dari apapun" Jan menangis.

Aku tidak tahan melihat Jan menangis. Aku menyuruhnya melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya.

"Kau jangan menangis. Bagaimana mungkin seorang sepertimu, dengan wajah tampan, badan sebagus ini, menangis" Aku mengelus pipinya.

Jan tertawa dan senyumnya adalah yang paling indah sedunia. "Jadi apa maumu?"

Aku berlagak memikirkan sesuatu. "Hmmm....gendong aku ke ruang tv. Kita berdua akan menonton bersama, bagaimana?".

Jan mengangkatku. "Baik, nona"

Jan bercerita bagaimana pertama kali ia memangku diriku ketika aku masih kecil. Ia tertawa mengingat dahulu ia tidak kuat menggendongku. Aku sangat senang melihat Jan seperti ini. Seandainya ibu ada disini, bersama kami.

Ibu, aku rindu padamu. Lihatlah Jan, dia sangat kuat. Badannya, hatinya, dan jiwanya

My DearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang