Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

part dua nih

30K 4.4K 461
                                    

"Ibu, jangan makan dulu sekarang!"

"Kenapa?"

"Nunggu Bapak."

"Ini rumah saya. Ini makanan saya. Kamu kalau mau nunggu dia, tunggu aja sendiri. Saya nggak ada urusan lagi."

"Please, saya udah googling, jarak dari studio Bapak tadi ke sini cuma 30 menit. Sebentar lagi, Bu."

Aku memandangnya tak percaya. Mulutku sampai terasa kaku untuk kembali dibuka. Ini Santi. Gadis yang bekerja sejak awal dia masuk kuliah. Yang biasanya selalu menunduk takut, menuruti semua perkataanku. Yang baru sebulan kerja sudah menangis minta pulang, karena katanya aku galak dan terlihat membencinya.

Mukaku memang tidak bersahabat, kalimatku jarang dibumbui tawa dan kiasan manis. Semua itu, bukan berarti aku dilahirkan untuk membenci orang lain dengan mudah.

Aku menyukainya sejak pertama dia datang ke sini. Dia tak jago memasak di awal, memang, tetapi kepribadiannya, senyuman dan cengirannya, terlihat sangat tulus, dan bisa menghibur.

Sekarang, kenapa dia selalu membuatku kesal dan malah berpihak pada lelaki itu?

"San."

"Ya, Bu?"

"Siapa yang gaji kamu?"

"I-ibu. Ba-Bapak. Dua-duanya."

"Dua-duanya?"

Kepalanya langsung menunduk. Kalau sudah begini, maka aku lagi yang menjadi pelaku kejahatan, dia sebagai korbannya. Kemudian, sang Bapaknya datang dan akan mem... aku menggeleng.

"Laptop saya rusak. Mau dibenerin, malah lebih mahal harga servisnya ketimbang waktu beli laptopnya. Kata Bapak mending beli baru, terus Bapak beliin."

"Kenapa nggak bilang saya?"

Mukanya kelihatan sedih sekali. "Ibu kelihatan capek banget akhir-akhir ini. Saya jadi nggak tega mau nambahin beban."

"Kamu pikir tindakanmu sekarang nggak nambahin beban?" Aku menyandarkan punggung, lalu memijat kening. "Capeknya saya itu bukan tanggung jawabmu." Nadaku harus melembut, kalau tidak ingin dia menangis. "Selama kamu masih di sini, semua hal tentangmu itu jadi tanggung jawab bersama. Kalaupun saya keberatan dengan masalahmu, kita bisa cari solusinya bareng-bareng. Bukannya langsung pakai jalan pintas dengan telepon Bapak."

"Maaf."

"Berapa harga laptopnya?"

"Mahal, Bu ...." Matanya sekarang bahkan sudah berkaca-kaca. Kamu benar-benar ujian nyata, Santi ... Santi. "Mahal banget. Saya juga nggak tahu kenapa Bapak beliinnya yang itu. Pas saya cek harganya, ya ampun, saya punya hutang nyawa."

"Berapa?"

"Mahal, Bu ...."

"Masih mahal laptopnya ketimbang nyawamu?"

"Enggak!" Kepalanya langsung terangkat tegak. "12 juta sekian."

Aku menggaruk leher depan yang mendadak gatal. Bagaimana bisa aku tidak memperhatikan kalau dia punya laptop baru akhir-akhir ini? Mungkin benar katanya, aku terlihat begitu kelelahan.

Pembukaan cabang baru laundry-ku ternyata memang menyita banyak hal dari diriku. Termasuk mengabaikan orang-orang sekitar.

"Terus kamu dimintai apa sebagai imbalannya?"

"Enggak ada. Makanya, Bu, please, tolong bantu saya. Saya merasa hutang budi banget. Jadi, kalau Bapak minta masakin sesuatu dan mau makan di sini, tolong, izinin ya, Bu."

"Kamu yang dapet laptop, kok saya yang berkorban?"

"Heee. Iya ya." Matanya tiba-tiba membulat. "Ih atau gini aja, Ibu nggak usah gaji saya sampai bayaran laptop saya lunas. Jadi, artinya saya bayar."

Beda CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang