"Ibu, interview Bapak udah tayang!"
"Siapa?"
"Maaf. Heeee. Saya terlalu antusias."
Aku butuh ke dapur.
Sebelum itu, aku mengangkat kedua tangan, merenggangkan badan. Rasanya lelah sekali aktivitas hari ini. Tidak, aku sama sekali bukan sedang berlagak tidak bersyukur. Namun, sebagai manusia biasa, aku hanya berusaha mengekspresikan apa yang kurasa.
Terlepas dari semua itu, aku senang. Bangga terhadap kerja kerasku sendiri.
Kata Uti, jika sesuatu bertambah besar, entah apa pun, profesimu, popularitasmu, atau bisnismu, maka hal yang harus diperhatikan akan semakin banyak. Jelas menyita waktu, tenaga, kalau uang ini tergantung. Itu kenapa aku tidak berani menyebutnya secara pasti.
Setelah berhasil mengisi gelas dengan air putih, aku duduk di kursi meja-makan. Sayup-sayup suara televisi dari depan terdengar. Santi memang benar-benar totalitas dalam melakukan sesuatu. Bukan hanya pekerjaan, tetapi saat fangirling juga.
Berusaha agar telingaku tidak mendengar suara dari televisi, aku memilih membuka tutup makanan di atas meja. Perempuan 20 tahun itu bahkan tahu betul apa yang harus dia lakukan agar aku tidak menyemprotnya ketika sedang memuja sang idola.
Makanannya sudah siap semua. Berdasarkan menu yang kusuka. Meski ada beberapa menu yang terlihat seperti kesukaan si orang asing, tetapi tidak masalah. Lengkap sesuai kebutuhan tubuh.
"Aaaaah, seksi banget!"
Aku mengembuskan napas berat. Ini menunya terlalu enak, tetapi kenapa selera makanku jadi hilang sejak masuk ke dalam rumah? Padahal, di jalan tadi perutku beberapa kali bunyi. Itu jelas artinya meminta makan, bukan kasih sayang.
"San!"
Great, dia tidak mendengarku. Kalau aku ke sana, kemungkinan untuk menangkap semua percakapan yang ada di televisi akan sangat besar. Jika aku memilih tetap meneriaki Santi dari sini, kurasa sampai tenggorokanku jebol pun dia tetap tidak mendengar.
Begitulah cinta, seringkali membuat buta. Untuk kasus Santi, bahkan sampai tuli dan entah apa lagi.
Let me try again. "SAN!" Aku berdecak, kemudian kembali meneguk air dari gelas yang tinggal tersisa sedikit.
Here we go again. Aku harus berdiri, berjalan menghampirinya dan berkacak pinggang. Santi terlihat sedang menghitung sesuatu dengan jari-jari tangan, sesekali menatap layar televisi, ke jarinya lagi dan terus begitu.
"Ngitungin apa kamu?"
"Subhanallah, Ibu! Itu," Tangannya menunjuk televisi. "Bapak."
Aku mengikuti arahannya.
Seketika menyesal karena tepat saat itu, kamera sedang mengambil gambarnya lebih dekat. Ekspresi wajahnya terekam sempurna. Dia sedang tertawa bahagia, menjelaskan dunianya.
"Dude, 40 tahun itu waktu emasnya elo! Are you kidding me?"
"Hahaha. Itu bener. Tapi dari awal gue berkarir, gue udah bertekad dalam hati, gue mau berhenti tepat di usia 40 tahun. Gue mau nikmati waktu gue, Men. You know, living a simple life with the best partner. Being happy. That's all."
Tanpa sadar, aku sudah mendengkus diiringi tawa. Simple life, katanya? Apa definisi dari kata simple dalam hidupnya?
"Sini, Bu. Geseran sini. Biar puas tepat di tengah layar. Mantap liat muka Bapak."
Kali ini, aku menuruti ucapan Santi tanpa bantahan. Karena aku mau dengar. Sejauh mana bajingan itu akan membual dan membuat si interviewer percaya semua omong kosongnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Beda Cerita
RomantikaBora merasa keberadaannya disembunyikan sebagai istri Gharda, seorang penyanyi terkenal di Indonesia. Dengan semua kesalahpahaman yang terjadi, pertengkaran demi pertengkaran tak mampu dielakkan. Apakah perpisahan memang jalan terbaik untuk mereka? ...
Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi