RENJANA

3 2 0
                                    

Ku rapalkan doa dalam hati sembari terus melangkah menuju suatu tujuan. Hari yang selama ini aku nantikan akhirnya sudah datang. Ku tarik napas dalam-dalam berharap rasa gugup yang bersemayam pada diriku akan segera pergi. Tergantikan oleh haru yang tiada henti.

Namun harapan tinggallah harapan, meskipun aku menguatkan hati tetap saja rasanya sakit sekali.

"Sudahlah May, ikhlaskan saja mbahmu itu," ujar Bi Inah salahsatu tetangga terdekatku dikampung.

"Sulit sekali bi rasanya, padahal May selalu memimpikan hari ini. Tapi kalau seperti ini tak apalah May diwisuda seorang diri," balasku terdengar begitu pilu.

Ya, hari ini adalah hari yang seharusnya bahagia untukku bahkan untuk keluargku. Akan tetapi semuanya lenyap tergantikan dengan tangis yang kepiluan.

"Bi Inah tahu, nduk. Tapi ini sudah menjadi takdirnya, kamu tidak boleh menyalahkan diri sendiri seperti ini." Bi Inah mencoba menenangkanku sembari mengusap lembut punggung tanganku.

"Kalau saja aku tidak memaksa bapak untuk datang ke kota, mungkin bapak masih hidup bi." Tetap saja rasanya ini semua adalah salahku, karena akulah yang membuat semua jadi seperti ini.

Seminggu berlalu, kini aku sudah mengikhlaskan kepergian bapak walaupun terkadang aku masih selalu mengingatnya yang kemudian disusul dengan deraian airmata. Aku memutuskan untuk tidak kembali ke kampung halamanku, selain banyaknya kenangan bapak tenpat itu juga menjadi tempat dimana aku dan bapak ditinggalkan oleh sesorang yang seharusnya ku panggil ibu.

Kata Bi Inah alasan ibu meninggalkanku tak jauh dari ekonomi bapak yang kurang dikarenakan hanya seorang petani ditambah aku yang selalu sakit-sakitan.

Hal itu yang membuat ia dengan tega meninggalkanku yang saat itu masih berusia dua tahun, bisa kubayangkan bagaimana repotnya bapak kala itu untuk merawatku.

Selama seminggu ini aku selalu menyempatkan diri untuk ziarah ke makam bapak sebelum aku sibuk dengan pekerjaan impianku. Ya, aku seorang sarjana pendidikan. Dimana setelah lulus aku akan mengajar disebuah sekolah, ini adalah cita-cita bapak dulu dan aku berhasil mewujudkannya.

Tepat hari Senin ini aku mulai mengajar disebuah sekolah menengah atas yang berada lumayan jauh dari kontrakanku.

Disekolah itu aku diamanahi untuk mengajar di empat kelas, dua kelas di kelas sebelas dan dua lagi di kelas dua belas. Aku sangat bersemangat sekali, walaupun sebenarnya aku gugup tidak tertolong.

Dalan batin aku selalu bertanya "Bagaimana jika nanti aku tidak mampu memotivasi anak-anak dalam belajar?" atau "Bagaimana jika nanti anak-anak bosan dengan apa yang aku sampaikan?".

Namun, lagi-lagi bayangan bapak selalu hadir dalam benakku memberikan senyuman seakan berkata "Kau pasti bisa putriku"  dan itu merupakan obat untuk kegugupan yang melandaku.

Sudah dua tahun berlalu, kini aku sudah tidak gugup lagi dalam mengajar. Kalau pun gugup, aku pasti akan membayangkan bapak yang sedang tersenyum bangga kearahku. Namun, kini kegugupanku bertambah berkali-kali lipat disertai dengan kesedihan yang begitu dalam.

Aku dipinang oleh rekan kerjaku disekolah, ia sosok yang berbudi luhur. Dan ia telah memantapkan diri untuk mempersuntingku untuk menjadi maharaninya. Tentu saja aku berunding terlebih dahulu dengan adik bapak yang tak lain adalah pamanku sendiri.

"Uak lihat dia lelaki yang bertanggungjawab, dengan mengajakmu langsung menikah itu menandakan kalau dia paham agama. Menurut uak kalau kamu sendiri sudah mantap dengannya, maka terimalah dia untuk menyempurnakan ibadahmu." Tuturnya sambil menyeruput kopi hitam yang kubuat.

"Insya Allah, baik daksa maupun atma May sudah mantap uak. May minta uak untuk menggantikan bapak baik untuk nanti berbincang dengan keluarga Mas Andi ataupun untuk nanti jadi wali akad nikah May," balasku.

"Tentu saja, tanpa kamu meminta pun uak akan pasti akan melakukannya. Siapa lagi kalau bukan uak May, kamu keponakan uak satu-satunya sudah kami anggap anak sendiri May. Nanti, kamu jangan memusingkan untuk acara pernikahanmu biar uak dan bibi saja yang menyiapkannya," jelas uak dengan raut muka yang sedih.

"Terima kasih uak, biarlah nanti May bilang ke Mas Andi supaya diatur tanggal berapa ia akan datang menghadap uak." Aku tersenyum seraya memamerkan gigi kelinciku. Untuk pertama kalinya aku merasa bahagia setelah sekian lama aku tidak merasakannya.

Disinilah aku, duduk berhadapan dengan cermin yang memantulkan wajah yang kini sudah banyak sekali riasan dipakai pada wajahku.

Ya, seminggu setelah perbincangan antara aku dan uak keluarga Mas Andi datang untuk melamarku. Dan kami memutuskan untuk melakukan wiwaha dua minggu setelahnya. Di luar sedang dilangsungkannya acara yang sakral, yakni ijab kabul.

Dalam hati aku berdoa semoga semua berjalan dengan lancar. Bayang-bayang bapak selalu hadir, aku yakin bapak pasti bahagia melihat putrinya akan segera mempunyai keluarga kecil. Tidak lama terdengar kata 'SAH', seketika aku merasakan kelegaan yang luar biasa.

Aku dituntun oleh bibi untuk menghampiri Mas Andi yang kini sudah resmi menjadi suamiku. Kami menandatangani buku nikah, saling memasang cincin dan momen dimana untuk pertama kalinya ada seorang lelaki yang menciumku selain bapak.

Aku yakin kedepannya hidupku akan lebih berwarna meskipun tanpa kehadiran bapak. Aku yakin telah menemukan jalanku dan aku percaya suamiku dapat mengemban tanggungjawab sebagaimana mestinya. Biarlah luka yang hadir dimasa lalu dijadikan cerminan untuk kedepannya.

"Bapak aku sudah bahagia dengan lelaki yang Insya Allah akan menuntunku ke syurga sebagaimana amanat bapak dulu. Terima kasih bapak sudah menjadi figur yang pantas untuk aku contoh dan sudah menjadi lelaki pertama yang aku cintai. Bapak selalu terpatri dihatiku entah itu dulu, sekarang bahkan nanti. Terima kasih..."

🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋
Kasih sayang ayah memang tidak terlihat seperti ibu, tapi jangan pernah ragukan kesungguhannya untuk membahagiakan cahaya hatinya....

KERANGKA HIDUP - Kumpulan Cerita Pendek Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang