Minggu Bersama Satria

90 15 2
                                    

Yogyakarta, 15 Maret 2020.

Setelah perayaan misa hari Minggu selesai, saya dan Cantika tidak langsung keluar dari area gereja.

Kami menunggu Satria dan Wafda yang masih sibuk membereskan peralatan musik mereka di dalam gereja sana, sambil memakan bakpao kukus yang baru saja kami beli di luar gerbang gereja tadi. Setelah itu, barulah kami kembali ke area parkir mobil yang lumayan ramai hari ini.

Cuaca hari ini lumayan cerah, tapi lumayan mendung juga. Untung saja saya dan Cantika nanti pulangnya nebeng mobilnya Jeriko sama Satria dan Wafda.

"Enak gak yang rasa ayam?" tanya saya pada Cantika.

Dia beli bakpau yang isinya ayam panggang, sedangkan saya yang isinya coklat.

"Enak kok, tapi agak keasinan dah menurut gua. Nih cobain," jawab Cantika sambil menyodorkan bakpaonya kepada saya.

"Hmm, iya keasinan," ucap saya setelah menggigit bakpao milik Cantika.

Tak lama kemudian, Satria dan Wafda akhirnya datang.

Satria terus tersenyum lebar selama ia melangkahkan kakinya menuju ke tempat saya berdiri saat ini. Lalu, ketika ia sudah berdiri di depan saya, ia langsung membuka mulutnya lebar-lebar sambil menatap bakpao coklat yang ada di genggaman tangan saya.

"Aaaaaa," katanya. Membuat saya terkekeh gemas dengan ekspresi lucunya saat ini.

"Hihihi gemes banget, nih aaaa," ucap saya.

Dan akhirnya, bakpao coklat saya yang sudah tersisa setengah itu masuk ke dalam perut Satria semua.

Tidak menunggu waktu lama, kami berempat langsung beranjak pergi dari gereja setelah selesai memasukkan gitar dan keyboard milik dua penyanyi itu.

Kali ini saya duduk di kursi penumpang paling depan untuk menemani Satria. Sedangkan Wafda dan Cantika duduk di belakang sana dan terlihat sedang asik mengobrolkan sesuatu. Kayaknya sih lagi gibah bareng.

"Nah! Iya, Mas, anaknya tuh emang agak songong gitu! Masa ya, waktu itu kan gue senyumin dia duluan nih, eh dianya malah buang muka, anying!" gerutu Cantika di belakang sana.

"Pantesan temen-temen gue banyak yang gak suka sama dia," balas Wafda.

Satria, yang daritadi juga ikut menyimak sesi gibah mereka di belakang itu, berdecak pelan. "Habis gereja kok ngomongin orang!" katanya.

Saya tertawa ketika mendengar ucapannya yang satu itu. Bener juga omongannya Satria.

"Yeee biarin dong, Mas, gak suka aje lo," dengus Cantika, menatap Satria dengan sinis.

"Mboh ki. Kowe yo seneng toh Mas ngrungokkene." (Tau nih. Elu juga seneng kan Mas dengerinnya.)

"Heh! Enak ae, mbok pikir aku iki kowe opo, Wap?" sinis Satria balik. (Heh! Enak aja, lo pikir gue itu elu apa, Wap?)

"Huuushh udah gak usah berantem! Habis dari gereja gak boleh marah-marah, nanti gantengnya ilang," ucap saya, menengahi pertengkaran tidak penting itu.

"Nggilani kon, Kin," kata Wafda di belakang sana. Membuat saya kembali tertawa karena ekspresi jijik Wafda yang satu itu.

***

Keadaan jalanan kota Yogyakarta yang sangat sepi pada pagi ini membuat waktu perjalanan pulang kami lebih cepat.

Saya turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu gerbang, kemudian disusul dengan Cantika dan Wafda yang keluar sambil membawa gitar dan keyboard.

Kisah Tentang SatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang