Menenangkan Satria

132 18 1
                                    

Yogyakarta, 3 Februari 2020

Hari ini merupakan hari dimana acara tahun baru kampus saya yang bertajuk 'New Year, New Moment' akan digelar.

Sejak pukul 6 pagi, para panitia acara sudah disibukkan ini-itu untuk mempersiapkan acara yang akan dimulai pada pukul 15.30 nanti. Saya, dan seluruh panitia lainnya, sangat antusias menyambut acara tahun baruan ini.

"Nih, minum dulu," ujar Satria sambil tersenyum kepada saya di bawah teriknya sinar matahari pagi ini. Tangan kanannya menyodorkan sebotol minuman isotonik pada saya yang langsung saya terima dengan senang hati.

"Makasiiih, Pak Ketua," ledek saya sambil menyengir padanya.

"Panas banget, ya. Padahal masih jam segini," Satria menghela napas sembari melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 10 pagi.

Saya mengangguk menyetujuinya.

"Topi kamu mana, Mas? Tadi jadi dibawa kan?" tanya saya.

Satria mengangguk, "Lagi dipinjem sama Wafda. Kasian dia bolak-balik dari parkiran buat mindahin alat musik tapi nggak pakai topi."

"Oooh," gumam saya. "Duduk dulu yuk? Pegel banget kaki aku."

Lalu, kami berdua duduk di atas tanah lapangan ini sambil meluruskan kedua kaki kami.

"Tadi malem aku nggak bisa tidur, Kin," ujar Satria, mulai bercerita.

Kedua matanya memandang panggung utama yang berdiri megah di tengah lapangan, lalu menghela napasnya panjang sebelum melanjutkan ceritanya. Raut wajahnya terlihat bangga sekaligus khawatir.

"Aku takut."

Saya menatapnya dengan lebih lekat, lalu terdiam sejenak.

"Takut kenapa?" tanya saya lembut.

"Nggak tau, Kin. Takut nggak bisa memenuhi ekspektasi semua orang aja," jawab Satria dengan nada pelan. Kini, lelaki itu menundukkan kepalanya.

Saya tersenyum kecil. Jemari-jemari saya bergerak untuk menggenggam jemarinya, untuk memberinya sebuah kekuatan.

Satria tidak selalu menjadi sosok yang pemberani seperti arti namanya. Di dalam hatinya, ia punya banyak kekhawatiran dan ketakutan yang kadang terasa sulit untuk ia ungkapkan.

Untungnya, setelah selama kurang lebih satu tahun mengenal Satria secara lebih dekat, saya bisa mengerti dan tahu ketika sosok lainnya ini muncul.

"You did your best, right?" tanya saya. Ia mengangguk pelan. "Mas Satria yang bilang sendiri ke aku loh, kalau usaha nggak akan pernah mengkhianati hasil. Aku lihat, selama ini kita kerjanya juga nggak pernah setengah-setengah, kok, Mas Satria ngerasa gitu juga nggak?"

Ia mengangguk lagi.

"Urusan hasil, semuanya kan udah diatur sama Tuhan, Mas. Jadi jangan khawatir," ucap saya, tersenyum ke arahnya. "Kamu udah bekerja keras selama ini, anak-anak yang lain juga seneng tau bisa punya ketua panitia kayak kamu."

"Keren banget loh kamu, tuh, bisa bawa Fiersa Besari ke acara ini!"

"Iyaaa, makasih ya, sayang." Satria membalas senyuman saya sembari mengacak pelan rambut saya.

"Nanti kita nyanyi Tanpa Karena bareng-bareng ya?"

Saya mengangguk semangat. Belum sempat saya membalas ucapannya, sebuah suara cempreng menginterupsi momen romantis kami.

"Enak banget ya lo berdua, pacaran di tengah lapangan gini... MEANWHILE GUE DARITADI BOLAK-BALIK SANA SINI BAWAIN KARDUS MAKANAN?!" seru Cantika dengan wajah yang sebelas-dua belas dengan kepiting rebus.

"Hehehe, ampuuun, Cantika cantik!"

Saya langsung berdiri dari tempat saya. Satria juga ikut berdiri sambil tertawa.

"Mas Satria tuh ngapain disini, sih?! Harusnya Mas Satria tuh bantuin Mas Wafda di sana! Kasian tau dia ngangkat-ngangkat gitar sendirian, untung tadi aku liat, jadi ada yang bantuin!" semprot Cantika pada Satria.

"Galakkan anggotanya daripada ketuanya," bisik Satria, membuat saya tertawa.

"Ngapain ketawa-ketawa?!"

"Iya iya sorry, Can... Tadi Kinannya aku ajak istirahat bentar. Sekarang kamu istirahat sana, duduk di sana tuh yang nggak panas, biar Kinan yang gantiin kamu," ujar Satria.

Cantika berdecak pelan, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku mau bantuin Kinan aja. Ayo, Kin!" katanya sambil menarik lengan saya.

"Denger ya, Mas. Sebagai hukumannya, Mas Satria nggak boleh berduaan sama Kinan sampai nanti sore!"

"Dih! Apa-apaan!" protes saya.

"Iyoo iyoo, sakarepmu, Can. 5 jam mah cepet!" Satria membalas tatapan sinis Cantika dengan senyuman menyebalkannya. "Dadah, Kinan sayang. Jangan sampe kecapekan, yaaa."

"Najis," geli Cantika. Saya terkikik melihat keduanya. "Ayo cabut! Panas gue liat Mas Satria di sini."

Cantika kembali menarik saya untuk menjauh dari area depan panggung, tempat dimana Satria berdiri. Saya menolehkan kepala ke belakang, tertawa sembari melambaikan tangan kanan saya pada Satria yang juga tertawa melihat kelakuan Cantika pagi ini.

Ajaib memang si Cantika ini. Siapa lagi coba yang berani ngomel-ngomel segalak itu sama Satria selain Cantika? Kalau saya sih, berani-berani saja. Tapi... mana tega saya, hehehe.

Kisah Tentang SatriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang