MALAM senin, Kama berjalan menuju rumah Sava, mereka sudah janjian untuk makan nasi goreng bersama di depan komplek. Rembulan malam ini bersinar cerah walau hanya separuh, lintang pun berpendar penuh. Disana, ternyata sang gadis sudah menunggu didepan rumah dengan ponsel pintar di tangan.
“Sava!”
Alsava menoleh, menangkap eksistensi sang pemuda lalu menghampiri.
“Nunggu lama?” tanya Kama setelah mereka berhadapan.
Sava menggeleng sebagai jawaban, “Ayo! 'Dah laper.”
Sava berjalan mendahului, tak tau saja Kama sedang bergelut dengan pikirannya sendiri.
Batin Kama frustasi, apa-apaan hanya Sava yang membuatnya bingung tak karuan seperti ini.
“Kama! Ayo.”
Mendengar panggilan Sava, akhirnya Kama beranjak dari posisi awalnya gantian ia yang sekarang menghampiri.
Mungkin lain kali.
• • •
SESAMPAI di warung nasi goreng, Kama langsung disapa oleh pak Slamet—sang penjual. Selain karena, ia pribadi yang ramah pada siapa saja, Kama juga tak pernah absen membeli nasi goreng disini, masakan terenak setelah masakan bunda katanya.
“Cah ayu ini siapa? Pacarnya Kama, ya?” tanya pak Slamet dengan wajahnya yang dibuat-buat aneh seperti mengetahui sesuatu.
Sava yang baru saja duduk dikursi yang disediakan tertawa.
“Calon saya itu, pak.”
Rona merah memenuhi pipi Sava, Sava segera mengalihkan pandangan asal tak bertemu tatap dengan Kama. Apa-apaan jawabannya barusan, membuat jantung Sava ribut saja.
“Calon pembantu baru buat bapak juga,” susul Kama.
Yang tadi merona merah karena malu, sekarang wajah Sava memerah karena menahan kesal. Belum aja, Kama ia timpuk dengan gerobak.
Sedangkan, pak Slamet yang mendengar jawaban dari Kama tertawa sambil menggeleng. Tertawa dengan tawa khas bapak-bapak milik beliau.
“Sava, nasi goreng atau mie goreng?” tanya Kama setelah duduk dihadapan sang gadis.
“Nasi goreng!”
“Nasi gorengnya dua ya, pak Slamet.”
Pak Slamet mengacungkan jempolnya memberi gestur oke.
“Sering makan disini?” tanya Sava membuka obrolan.
“Sering!”
“Kenapa gak makan dirumah?”
“Nanti dirumah makan lagi lah!”
Sava tertawa. “Mangkanya gembul.”
“Gembul gini, kalau hilang juga kamunya nyari.”
Sava hanya tertawa sebagai tanggapan.
Iya sih.
Sava dan Kama mengobrol tak tentu arah, seperti kucing tetangga Kama yang baru lahiran, pohon jambu Sava yang baru berbuah, adik Kama yang katanya tadi pagi buang air di celana pun mereka bahas. Obrolan mereka dihentikan dengan dua nasi goreng yang sudah didepan mata.
Karena warung sedang sepi, hanya ada mereka bertiga, jadi pak Slamet ikut nimbrung.
“Sava! Kamu orang pertama yang Kama ajak kesini loh.”
“Kata Kama dulu, orang pertama yang diajak kesini itu, orang berharga dihidupnya setelah keluarganya.”
Begitu kata pak Slamet, yang membuat Sava lagi-lagi merona merah sekaligus senang.
“Pak Slamet jangan bilang gitu. Ntar dia kepedean.”
Sava langsung menendang kaki Kama yang berada di bawah meja.
“Bar-bar banget sih, hm.”
Sava tak membalas apa-apa lagi, hanya mendengus.
“Untung sayang.”
Kama ingin tertawa, melihat gadisnya yang lagi-lagi merona merah. Tak apa, walau belum bisa menggenggam tangannya, membuatnya bahagia saja sudah lebih dari cukup buat Kama.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.