SIAPA yang mengira, semenjak kejadian perkenalan singkat kala itu, kini Kama dan Sava sering bersama layaknya sepatu dan talinya. Seperti sore ini, mereka duduk berhadapan yang lagi-lagi didalam kedai. Sava sudah mengetahui kalau setiap akhir pekan Kama akan bekerja disini dari pukul sepuluh hingga tiga sore.
Sava dengan matcha lattenya, juga Kama dengan americanonya.
“Suka banget sih minum daun,” ujar Kama kala itu.
“Ini bikin tenang, Kama.”
Kama menggeleng-geleng. “Kayak kambing.”
“Sialan!” umpat Sava dengan muka kesal.
Kama yang diumpati malah tertawa.
“Kamu kenapa suka yang pahit-pahit?”
Kama berpikir sebentar. “Kan yang manis cuma kamu.”
Sava memutar bola matanya, sudah kepalang hafal dengan sikap usil pemuda dihadapannya ini.
“Gak lucu!”
Lagi-lagi Kama tertawa, bahkan Sava tidak mengerti dimana letak kelucuannya.
“Pahitnya kopi tuh justru bikin candu, Va.”
Sava mengangguk tak acuh.
“Mau coba?” tawar Kama.
Sava langsung menggeleng. “Lidahku tak akan pernah terbiasa oleh rasanya.”Kali ini Kama yang mengangguk.
“Kama,” panggil Sava.
Kama menatap kedalam netra sang gadis. “Ada apa?”
Sava terlihat ragu akan sesuatu.
“Kenapa, hm?”
“Boleh aku bertanya sejak kapan kamu memperhatikanku?”
Kama tersenyum manis. “Sejak kapan ya?” ia terlihat berpikir sebentar baru berujar, “Kalau ini menjadi rahasia, boleh?”
Sava mengangguk mengerti, Kama mungkin malu membicarakannya.
Tanpa Sava ketahui, saraf dalam otak Kama memutar kembali peristiwa dimana ia menemukan Alsava.
Malam itu, Kama duduk didepan minimarket tanpa alasan. Ditemani dengan sekaleng cola ia menikmati dinginnya udara malam yang semakin lama seakan menusuk permukaan kulitnya. Netranya menyapu sekitar, sampai fokusnya tertuju pada seseorang disana.
Hanya seorang gadis, yang mencoba menghibur balita dalam gendongan—mungkin ibunya agar tak menangis lagi. Ia terlihat beberapa kali membuat ekspresi jelek yang membuat bayi tertawa, bahkan tanpa Kama sadari hatinya ikut menghangat. Sejak saat itu, Kama mencoba menghafal paras gadis asing tersebut.
Dan mungkin alam raya sedang berkonspirasi, netranya bertemu dengan gadis itu kembali. Gadis yang pada akhir pekan selalu mampir untuk membeli matcha latte di kedai ini, kedai tempat Kama bekerja.
Sejak saat itu, diam-diam Kama selalu ingin tau apa yang dilakukan gadisnya. Mencuri pandang sudah menjadi kebiasaan, walau ia hanya bisa menatap dalam diam. Kala itu. Mungkin sekarang sudah berubah. Kali ini, semoga saja raganya siap untuk selalu membawa tangan gadisnya di genggaman.
“Heh! Kok malah ngelamun?” ujar Sava setelah memukul jemari Kama yang berada diatas meja.
Kama tersenyum. “Ayo pulang, sudah mau gelap.”
hari iniiii harinya sijeuniiii~
KAMU SEDANG MEMBACA
ii. meluruh
Cerita Pendekft. h a e c h a n, espoir series. ❝ kopi itu pahit kalau kita, rumit ❞ ©lenterasemu, 2020