Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DISANA gadisnya sedang duduk di tempat biasanya ia duduki saat mampir ke kedai biru. Gadisnya selalu tersenyum saat Kama beberapa kali mencuri pandang kearahnya. Gawat. Kama bisa salting kalau begini. Tidak-tidak. Ia harus fokus bekerja saat ini. Setidaknya sampai pukul tiga sore nanti.
Kama mencoba untuk fokus bekerja tanpa mencuri pandang. Tapi, yang namanya masalah hati, tentu saja tidak bisa.
Fokus Kama! Fokus! Ayo!
Beberapa kali Kama menyemangati dirinya sendiri. Menyalahkan waktu, kenapa berdetak lama sekali.
• • •
ALSAVA melamun, itu yang Kama lihat. Gelas latte milik gadisnya sudah habis tak tersisa. Kama mendudukkan dirinya dihadapan gadisnya.
“Hei?”
Kama mengambil tangan gadisnya, ia elus perlahan. Berusaha menyadarkan Sava dari acara melamunnya.
“Kok melamun, ada masalah?” tanya Kama mencoba selembut mungkin agar Sava mau bercerita. Ia tak suka raut gadisnya yang muram.
Tiba-tiba gadisnya langsung menaruh kepalanya di atas meja kedai juga menautkan tangan Kama yang semula mengelus dengan tangan Sava.
“Bunda menyuruhku kembali."
Ah iya, Kama lupa menceritakan kalau gadisnya tinggal di kota ini hanya sementara. Sava menemani Uti dan Kungnya. Mendengar Sava akan kembali ke kota kelahirannya, hatinya sesak. Jadi begini, arti dari kata cinta akan membuatmu mengenal apa itu luka.
Kama berusaha tersenyum, “Lalu?” menunggu penjelasan berikutnya dari gadisnya.
“Aku ingin menolak, tapi tidak bisa.”
Sava mengangkat kepala tapi masih menunduk.
“Jadi, kamu harus pergi?” lidah Kama terasa kelu mengucap kata terakhir tadi.
Sava tak menjawab apa-apa, yang membuatnya sadar bahwa ia tak sedang mendapat luka sendirian.
“Kalau memang harus, ya gak papa,” ujar Kama dengan nada yang dibuat setenang mungkin walau ada sedikit nada getir yang tak dapat ia hindari.
Sava mengangkat kepalanya, menatap telak kearah kedua mata Kama, “Gitu ya?”
“Ayo pulang!” ajak Kama. Bukannya apa, ia tak ingin terlihat sedih tempat umum seperti ini. Mereka perlu waktu berdua.
Kama dan Sava berjalan beriringan dengan tangan yang bertautan sama-sama tak ingin melepaskan. Seolah kalau dilepas, yang satu akan hilang entah kemana. Bahkan, sampai di depan rumah Sava, keduanya hanya diam tapi sama-sama tak ingin beranjak.
“Kapan berangkatnya?”
“Malam ini. Aku juga baru dikasih tau hari ini, Kama,” keluh Sava yang menahan diri untuk mengumpati nasibnya kali ini.
Kama tertawa pelan, “Tak apa. Sini.”
Kama menarik lengan Alsava, membawanya dalam rengkuhan. Kama merasa sedang memeluk dunia, merasa lengkap. Berdoa saja semoga tidak ada tetangga yang melihat.
“Kalau begitu kita selesai sampai disini?”
Pertanyaan Kama mengundang tetesan air mata dari sang gadis. Sava meremat baju Kama untuk pelampiasan karena dirinya menolak mengeluarkan air mata.
“Gak papa, sayang. Nangis aja.”
Walau hati saya ikut sakit melihatmu menangis.
Tangis Sava langsung mengudara di bawah jingga. Senja kali ini terasa menyakitkan.
Kama mengelus pelan surai hitam milik Sava.
“Maafkan aku, Kama.”
“Gak papa, Va. Mungkin tuhan memang melukiskan cerita kita cukup sampai disini. Jadi, kita sampai sini ya,” ujar Kama dengan suara yang dibuat sehalus mungkin agar tak menyakiti perasaan sang gadis. Karena menurut Kama, jika memang harus di akhiri, mari sebisa mungkin untuk tak saling menyakiti.
“Boleh peluk sekali lagi?” tanya Sava dengan hidung juga mata yang memerah sehabis nangis.
“Saya punya kamu, Va.”
Dan mungkin akan selalu begitu.
Mereka berpelukan kembali sebelum berpisah dan entah kapan bertemu lagi. Bertemu lagi dengan rasa baru masing-masing, atau rasa lama yang tak pernah asing. Biar alam raya yang memberi jawabannya nanti.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.