19. Trauma
"Tuhan, semua yang Kau berikan sudah cukup, bahkan melebihi cukup. Jadi tolong, jangan ambil dia dari hidupku."
Weathering With You
Hujan turun dengan sangat deras malam itu, petir menyambar disertai dengan suara gemuruh terdengar begitu menakutkan. Romeo berada di kamar inapnya, hanya sendiri karena pasien lain sedang berada di ruang operasi. Cowok itu memandang ke arah jendela, terpaku pada rintik-rintik air hujan yang membuatnya teringat pada kejadian menyeramkan itu.
"Jangan takut. Ada aku."
Romeo memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Suara familier itu tidak kunjung hilang dalam kepalanya.
"Romeo, aku takut." Ragil merengek. "Aku nggak bisa liat apa-apa. Semuanya gelap."
Romeo memegang tangan kecil Ragil. "Nggak papa, Ragil." Dia melihat ke luar kaca mobil yang sudah tidak berbentuk lagi. "Aku akan meminta tolong."
Ragil memegang tangan Romeo. "Jangan pergi. Jangan tinggalin aku sendiri."
"Nggak akan lama. Aku akan kembali dengan orang yang akan membawa kita ke Mama sama Papa. Aku akan membawa orang yang bisa membawamu ke rumah sakit."
"Jangan lama perginya. Aku takut."
Romeo menganggukkan kepala, meski seluruh tubuhnya sakit, dia tetap memaksakkan diri berjalan menyusuri jalanan raya yang sepi. Di atasnya kilatan petir terus menyambar disertai gemuruh keras yang membuat dia takut. Sering kali Romeo jatuh namun dia kembali bangkit lagi. Dia tidak boleh menyerah. Ragil membutuhkan pertolongan. Dia harus menemukan seseorang yang bisa menolong Ragil.
"Tolong!" seru Romeo dengan suara pelan. Dia terjatuh lagi saat mendengar suara gemuruh keras, meski takut dia kembali berdiri, kedua matanya menatap ke atas penunjuk jalan. Entah mengapa tulisan itu terlihat berantakkan. "Tolong."
Romeo kembali berjalan sambil menutup telinganya, ketika dia sudah mulai lelah, ketika kakinya tidak mampu lagi berjalan, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya.
Napas Romeo terengah, dia mengerjapkan mata seolah memastikan bahwa dirinya tidak berada di jalan gelap itu. Bahwa dirinya aman di sini. Tangannya yang sedang memegang gelas terjatuh ketika gemuruh keras itu kembali terdengar. Romeo menatap ke arah jam, sayangnya angka dalam benda itu terlihat acak-acakkan.
"Romeo!" seru Mama segera menghampiri Romeo.
Romeo mengalihkan perhatian, tatapannya terlihat kosong. Tangannya menggenggam tangan Mama sangat erat. "Tolong."
Mama menatap Romeo tidak mengerti. "Romeo, kenapa? Apa yang--"
"Adik saya. Tolongin adik saya." Romeo menunjuk ke belakang. "Adik saya di sana. Tolongin dia. Ragil bilang dia nggak bisa liat apa-apa."
Mama tertegun.
Genggaman Romeo mengerat. "Kumohon, tolongin Ragil. Aku nggak bisa ninggalin Ragil lama-lama. Dia pasti ketakutan sekarang. Tolong. Cepetan bawa Ragil ke rumah sakit."
Karena Mama diam saja, Romeo menunjukkan tangannya. "Aku nggak bohong! Liat kakiku juga berdarah, kepalaku juga. Jadi, tolongin adik saya. Dia pasti kesakitan sekarang."
Mama kehilangan seluruh tenaganya saat menyadari sesuatu. Dilihatnya Romeo yang seperti orang lain, cowok itu terus menunjukkan tangan dan kepalanya yang tidak kenapa-napa padanya.
"Waktu itu kamu nggak ninggalin Ragil?" tanya Mama pelan.
"Ninggalin?" Romeo balik bertanya. "Kenapa aku ninggalin Ragil? Nggak. Ragil hilang. Aku harus cari dia. Kalau dia kenapa-napa bagaimana. Aku nggak bisa ..." Dia turun dari ranjang, hendak pergi keluar tetapi Mama segera memeluknya dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M BROKEN
Teen Fiction"Dia sangat berbeda dengan Ragil. Padahal mereka saudara kembar." "Romeo sama sekali nggak bisa diandalkan. Beda banget sama adik kembarnya." "Ragil itu anak baik-baik, tapi Romeo sebaliknya." Romeo nggak peduli sama orang yang menghinanya asal hidu...