24. Ragil's Secret
"Kebahagiaan dan rasa sakit selalu ada dalam hidup. Jika hal-hal baik terjadi, hal-hal buruk juga akan terjadi. Jadi, tetaplah tegar."
My Country: New Age
"Kamu nggak bisa melakukan perjalanan jauh untuk sekarang." Suara Papanya terdengar saat Ragil berjalan melewati ruang kerja Papa.
"Saya harus masuk sekolah besok. Kalau saya nggak hadir, pihak sekolah mungkin nggak akan meluluskan saya. Mereka sudah banyak memberi saya keringanan."
"Papa akan bicara dengan wali kelas kamu. Mereka pasti mengerti dengan kondisi kamu."
"Pa ..."
"Kesehatanmu jauh lebih penting. Kalau kamu memaksakan pergi, di sana kamu akan sakit lagi, nggak bisa masuk sekolah lagi."
"Sebentar lagi ujian nasional. Saya ..."
"Sekolah. Sekolah. Sekolah." Kali ini Mama yang bicara. "Kenapa kamu ingin sekali sekolah? Kesehatanmu lebih penting."
Hening lagi. Ragil masih tetap berdiri di depan pintu ruang kerja Papa. Menyetujui pendapat Papa dan Mama. Seharusnya Romeo lebih mementingkan kesehatan daripada pendidikkan.
"Dokter mana pun bilang saya nggak punya harapan." Suara Romeo terdengar lagi. "Selama ini saya selalu membuat Mama dan Papa malu. Karena saya, teman-teman Mama sama Papa selalu mengejek kalian. Karena kebodohan saya, Papa nggak bisa berkumpul seperti rekan kerja Papa."
"Kamu tidak perlu melakukannya. Kami tidak peduli pada hal seperti itu."
"Tapi saya peduli," balas Romeo. "Saya tahu teman-teman Mama selalu bicarain saya dan buat Mama malu untuk ketemu dengan mereka. Seenggaknya, jika saya bisa lulus sekolah sebelum meninggal, teman-teman Mama nggak akan bicarain saya. Mama nggak akan malu."
Ragil diam mematung, bahkan di saat seperti ini pun Romeo pun masih memikirkan orang lain.
"Romeo, kami nggak pernah peduli mereka menghina kami, kami nggak pernah peduli pada omongan mereka. Kami nggak butuh orang seperti mereka." Terdengar isakkan di dalam ruang kerja. "Jadi, Mama mohon. Kali ini kamu dengerin Mama, ya? Jangan dulu pergi ke Malang. Tunggu kondisimu pulih dulu baru pergi lagi ke sana."
Perlahan Ragil melangkah mundur, jika saja dia tidak mencuri soal ujian itu Romeo tidak perlu pergi ke Malang untuk sekolah. Jika saja dia bisa meredam amarah dalam hatinya, mungkin sekarang Romeo masih tetap satu sekolah dengannya. Jika saja waktu itu dia mampu memaafkan Romeo, mungkin nama Romeo tidak akan diblacklist dari sesekolah Jakarta.
Semua ini salahnya. Sejak awal memang salahnya.
Dengan gontai, Ragil masuk ke dalam kamar dan terjatuh begitu saja setelah menutup pintu. Beberapa kali dia menarik napas panjang, berusaha keras agar tidak menangis. Dia tidak merespon ketika Mama memanggilnya untuk makan malam, dia bahkan mengabaikan ancaman Papa. Dia tetap mengurung diri dalam kamar. Meski sikap Papa dan Mama tetap sama seperti dulu, namun entah mengapa dia tidak mampu menemui mereka. Mereka pasti kecewa mempunyai anak seperti dirinya.
"Aku nggak laper, Ma!" kata Ragil saat pintunya diketuk lagi.
"Ini gue."
Ragil langsung duduk dengan tegak saat mendengar suara Romeo. Buru-buru dia beranjak pergi, hendak membuka pintu saat teringat sesuatu. Tidak. Dia masih belum bisa menemui Romeo apalagi dia baru saja berkelahi dengan Budi. Romeo pasti tambah kecewa padanya.
"Lo baik-baik aja? Luka lo perlu diobatin." Romeo kembali berkata.
Hati Ragil mencelos, bahkan setelah apa yang dia lakukan, Romeo masih tetap peduli padanya? "Cuma luka kecil. Besok juga sembuh," sahutnya ragu-ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M BROKEN
Teen Fiction"Dia sangat berbeda dengan Ragil. Padahal mereka saudara kembar." "Romeo sama sekali nggak bisa diandalkan. Beda banget sama adik kembarnya." "Ragil itu anak baik-baik, tapi Romeo sebaliknya." Romeo nggak peduli sama orang yang menghinanya asal hidu...