20. Sore Itu ...

5.9K 535 42
                                    

20. Sore itu ...

"Kadang-kadang keluarga sendiri seperti orang lain, dan kadang-kadang orang lain seperti keluarga sendiri."

Kabhi Kushi Kabhi Gham

"Ah, Anda pasti ibunya Romeo." Wanita paruh baya yang sempat menjaga Romeo beberapa hari lalu menyapa saat Mama sedang membersihkan tangan Romeo yang bengkak karena diinfus.

Mama mengangguk sopan. "Iya. Terima kasih sudah menjaga anak saya saat saya tidak ada."

"Tidak apa-apa, sekalian menjaga anak saya juga." Wanita paruh baya itu tersenyum. "Romeo bagaimana? Semalam sepertinya ada keributan di sini? Apa Romeo sakit lagi?"

"Oh itu ..."

"Setiap malam saya selalu mendengar Romeo merintih tapi tidak sampai menangis." Wanita paruh baya itu menatap Romeo. "Meski penyakit anak saya sama dengan Romeo, tetapi setiap kali penyakitnya kambuh anak saya menangis karena tidak bisa menahan sakitnya. Tetapi, Romeo ... Anda beruntung memiliki anak sepertinya."

Mama tertegun, setiap kali temannya membicarakan Romeo pasti yang mereka bicarakan adalah betapa malang dirinya karena memiliki anak seperti Romeo dan betapa beruntungnya memiliki anak sepintar Ragil.

"Menahan rasa sakit seperti itu ... saya pun pasti tidak akan mampu menahannya. Melihat Romeo bertahan sampai sekarang tanpa mengeluh atau menangis adalah hal yang luar biasa."

Mama menarik napas panjang, berusaha menahan sesak di dadanya. "Hem, saya sangat beruntung." Senyum yang semula terukir di wajahnya perlahan menghilang saat ponselnya berdering menampilkan nama Papa. Mama mengusap rambut Romeo sebentar lalu berjalan keluar kamar.

"Kenapa tiba-tiba pergi ke sana? Kamu tidak bisa meninggalkan Ragil begitu saja. Semenjak kamu pergi, Ragil tidak makan teratur."

Mama memijit pangkal hidungnya. "Saya pergi ke Malang."

"Untuk apa pergi ke sana?! Romeo buat ulah apalagi, hah? Anak itu, bukannya merefleksikan diri, malah buat ulah lagi."

Mama menggigit lidahnya, berusaha kuat agar tidak langsung menumpahkan amarah sekaligus kesedihannya. "Romeo tidak buat ulah apa-apa."

"Lalu, untuk apa kamu ke sana? Biarkan saja Romeo sendiri di sana. Dia bisa menjaga dirinya. Ragil lebih penting--"

"Romeo sakit." Mama tidak bisa menahannya lagi.

"Panggilkan saja dokter, bukankah di sana ada asisten rumah tangga. Nanti Romeo jadi manja kalau kamu datang ke sana."

Mama memejamkan mata, teringat kata-kata kasar yang selalu dia lontarkan pada Romeo selama ini. Apakah anaknya itu merasa sesakit ini saat mendengar kata-katanya? Apa Romeo sekecewa ini saat dirinya secara terang-terangan tidak menganggap kehadirannya? Bagaimana bisa dirinya begitu kejam pada anaknya sendiri? Kenapa dia terlambat menyadari semuanya?

"Rosa," panggil Papa karena Mama diam.

"Romeo sakit, Mas."

"Kamu sudah bilang--"

"Kanker pankreas stadium akhir," imbuh Mama pelan.

Sesaat tidak terdengar apa pun. "Jangan bicara asal! Romeo pasti berbohong agar hukumannya dicabut."

"Dokter Farhan bilang hidup Romeo nggak akan lama lagi. Hari itu, saat kita tidak bisa  menghubungi Romeo, dia tidak sadarkan diri selama tiga hari. Sekarang pun Romeo masih dirawat di rumah sakit. Kondisinya sama sekali tidak baik."

I'M BROKENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang