27. Let Go
"Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk melepaskan daripada bertahan."
Hotel Del Luna
Dalam tidurnya Ragil bergerak gelisah, untuk kesekian kali dia membuka mata lalau mendesah panjang. Dari kemarin perasaannya begitu gelisah. Apa mungkin karena dia baru saja selesai ujian nasional? Atau ... tiba-tiba dia teringat pada ucapan Romeo.
"Aku mimpi ketemu sama Summer. Tau nggak? Dia makin cantik. Dia ngajak aku ke rumahnya."
Mata Ragil terpejam lagi, berusaha menenangkan hatinya. Perkataan Romeo terdengar biasa namun entah mengapa seperti mengandung banyak arti.
"Kapan pulang? Ujiannya udah selesai dari kemarin, kan? Buruan pulang. Aku nggak bisa nunggu lagi."
Ragil bangun, mungkin agar hatinya tidak gelisah dia harus pulang ke Jakarta dan menuruti kemauan Romeo. Maka dari itu, tanpa peduli ini sudah tengah malam atau malah pagi buta, dia membawa barang secukupnya dan mengecek apakah ada penerbangan malam ini.
Setelah mencari hampir satu jam, akhirnya Ragil berhasil mendapat tiket penerbangan. Meski harus mengambil kelas binis, dia tetap membelinya agar bisa pulang malam ini juga.
"Halo, Pa," sapa Ragil saat sedang menunggu penerbangannya.
"Ya, Gil? Ada apa? Terjadi sesuatu di sana?"
Kening Ragil berkerut saat mendengar suara aneh Papanya. "Nggak. Aku baik-baik aja." Dia menelan ludah. "Romeo gimana? Dia baik-baik aja, kan? Perasaanku nggak enak dari tadi."
Hening untuk waktu yang lama hingga Ragil berpikir Papa memutus sambungan telepon.
"Kapan kamu bisa pulang ke Jakarta?"
"Aku lagi di bandara sekarang," jawab Ragil pelan. "Malam ini aku pulang."
Terdengar helaan napas panjang di seberang telepon. "Syukurlah. Udah seminggu ini Romeo nggak sadarkan diri. Kondisinya naik-turun. Dokter bilang Romeo nggak punya harapan lagi."
Tubuh Ragil mematung. Jantungnya berdegup sangat kencang.
"Sebelum nggak sadarkan diri, Romeo bilang ingin bertemu denganmu." Suara Papa berubah serak. "Jadi, baik-baik di perjalanan, ya. Kamu pulang saja udah cukup. Jangan terburu-buru."
Sayangnya Ragil tidak mendengarkan nasihat Papa, begitu sampai di bandara Soetta, dia langsung pergi ke rumah sakit tanpa memikirkan apakah dirinya masih jet lag atau kelelahan. Pikirannya hanya terfokus pada Romeo. Kalimat Papa selalu terngiang dalam kepalanya.
"RS Harapan ya, Pak," kata Ragil saat berhasil mendapat taksi.
Lagi, sepanjang perjalanan Ragil bergerak gelisah. Berulang kali dia menelepon Mama dan Papa, sayangnya tidak ada satu pun dari panggilannya yang dijawab. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, berusaha menenangkan rasa gelisah dalam hatinya.
"Sepertinya saya hanya bisa nganter sampai sini, Mas," ujar sopir taksi. "Di depan dijaga sama anak-anak geng motor. Kalau saya maksa lewat nantinya mereka mengejar taksi saya."
Ragil melihat keluar, memang ada kumpulan anak geng motor. "Sekitar sini suka ada taksi yang lewat?"
"Malam begini biasanya jarang."
Ragil memejamkan mata. "Ya udah, Pak. Ini ongkosnya. Makasih." Dia keluar dari dalam taksi dan berjalan setenang mungkin melewati kumpulan geng motor itu. Berusaha keras agar tidak menarik perhatian mereka. Awalnya berjalan lancar namun tiba-tiba berubah hening saat ponsel Ragil berbunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M BROKEN
Teen Fiction"Dia sangat berbeda dengan Ragil. Padahal mereka saudara kembar." "Romeo sama sekali nggak bisa diandalkan. Beda banget sama adik kembarnya." "Ragil itu anak baik-baik, tapi Romeo sebaliknya." Romeo nggak peduli sama orang yang menghinanya asal hidu...