LIMA

623 77 2
                                    

Ketika menjalin hubungan dengan dia, membesarkan hati adalah sebuah kewajiban yang harus dikerjakan. Dia dibutuhkan bahkan dimiliki oleh banyak orang karena jabatan yang diemban.

Ada banyak perempuan yang mencoba mendekati dia meskipun tahu kalau aku adalah pasangannya. Berbagai cara ditempuh mulai dari diam-diam sampai yang terang-terangan. Hal itulah yang membuatku sering protes dan menjadi lebih sering mendiamkannya, yang katanya tanpa sebab.

Seperti siang itu, setelah pulang sekolah aku yang biasa menunggunya di depan sekolah-- di bagian yang cukup teduh. Melihatnya dari kejauhan sedang berjalan sambil ngobrol dengan perempuan yang kuketahui bernama Sesil--adik tingkat, kejadian seperti ini bukan pertama kalinya.

Melihatnya masih asyik bercerita dan tidak ada tanda-tanda mengakhiri pembicaraan mereka dalam waktu dekat. Kuputuskan pulang sendiri karena perasaan kesal melingkupi hati serta pikiranku.

Lalu ketika melewati gerbang sekolah, aku sendiri bingung mau naik apa? aku melihat keadaan sekolah yang sudah sepi karena menunggu dia selesai dari urusannya tidak pernah sebentar.

Lama aku berjalan menuju halte dengan pikiran yang masih menerawang kejadian tadi, tiba-tiba ada motor berhenti di sampingku. Ternyata dia menyusul.

"Kenapa sih main pergi aja?" suaranya terdengar kesal. Harusnya kan aku yang kesal karena dibiarkan menunggu dan terabaikan.

"Nggak papa" gumamku yang masih terus berjalan.

"Al mending naik dulu deh, nanti kita omongin lebih jelas!"

"Aku mau naik angkot"

"Al... Ayolah nanti kalo mau lanjut marahnya nggak papa, asal kamu naik dulu." dia masih mencoba membujuk yang tidak aku hiraukan, enak saja! Aku tetap berjalan sampai terdengar suara di belakang.

"Ya udah, kamu tunggu di halte. Aku mau nitip motor di sekolah dulu jangan pulang sendirian." sejenak aku terdiam di tempat, melihat kearahnya yang ternyata menampakkan raut wajah serius.

Masih dengan perasaan enggan aku naik ke atas motor yang diresponnya dengan senyuman, "Nah gitu dong."

Dalam perjalanan pulang tidak ada yang bersuara di antara kami--lebih tepatnya aku malas menanggapi ucapannya.

Sampai tiba di rumah makan yang biasa kami kunjungi.

"Al kamu duluan ya di tempat biasa" perintahnya yang langsung turuti.

Setelah memesan makanan. Dia datang dan langsung duduk di hadapanku, "Jadi kamu kenapa Al?" dengan suara yang tenang dan sorot mata yang teduh.

"Kamu masih nanya?" aku melihat kearahnya dengan tatapan heran.

"Al aku sudah sering bilang, kalo kamu nggak suka sesuatu kamu harus berani bilang, bukan diam lalu pergi kayak tadi."

"Kamu nggak nyadar?" kesalku.

"Gimana aku bisa tau dan sadar, kalo yang kamu lakuin hanya diam trus ketika ditanya jawabnya nggak papa?"

Belum sempat aku menjawab, waitress lebih dulu datang mengantarkan pesanan. Akhirnya kami memutuskan untuk makan terlebih sebelum melanjutkan pembicaraan ini.

Setelah selesai kami masih duduk di sana, untuk menjelaskan apa yang ingin diperjelas.

"Jadi?" dia memulai dengan suara yang lebih tenang dari yang sebelumnya.

"Aku kesel, padahal ini bukan pertama kalinya melihat kamu seperti itu. Aku merasa diabaikan, tadi" tidak berani menatapnya aku hanya menundukkan kepala sambil memainkan tisu yang berada di atas meja.

Hold MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang