EMPAT BELAS

467 55 2
                                    

Setelah mengantarkan Kania, mobil melaju ke arah rumahku. Aku baru saja akan bersyukur ketika Doni bergabung bersama kami, karena jujur saja aku belum terbiasa jika harus berdua dengannya.

"Yan, gue dulu ya mau langsung cabut nih!"

"Gila ya, harus malem ini juga?"

"Ngapain nanya-nanya emang lo mau gabung? Atau Alen mau ikut?" Doni bertanya.

"Emang mau ke mana?" tanyaku kemudian sambil menoleh ke belakang, Doni menampakkan senyumnya.

"Nggak jadi deh, pasti nih bocah nggak bakalan ngizinin lo!" ucap Doni sambil menunjuk kearah Tian.

"Nggak ada hubungan Don, kalo lo emang mau ngajak gue ya ayok!"

"Nggak deh Len, gue masih sayang nyawa. Lo liat aja noh mata Tian udah mau keluar dari kelopaknya!" aku tidak berusaha mencari tahu kebenaran ucapan Doni, langsung melihat ke arah depan.

Pembicaraan yang terjadi banyak didominasi oleh Tian dan Doni tetapi sesekali aku juga ikut menyahuti.

"Thanks ya" ucap Doni sambil ke luar dari mobil.

"Yan, udah gue kasih peluang noh. Manfaatin gih. Dadah neng Alen." setelah mengatakan itu dia melambaikan tangannya, sambil tersenyum aneh.

Akhirnya aku benar-benar berdua dengan Tian. Aku ingin tidur saja untuk menghilangkan kecanggungan yang ada.

"Al, kita perlu bicara!" ucapnya tiba-tiba, sebelum aku menjalankan niatku.

"Perihal?"

"Kita, kamu nggak ngerasa kita berjarak karena alasan yang belum jelas?"

"Nggak, kita berjarak karena terlalu sungkan untuk berteman." jawabku dengan cepat. Aku tahu Tian melihat ke arahku saat ini, tetapi aku tetap memfokuskan pandanganku ke depan.

Sebelum dia menjawab aku lebih dulu berkata lagi, "Kalo memang ada yang ingin dibicarakan. Kenapa baru sekarang?"

"Al... Aku punya alasan." suaranya terdengar berat di telingaku.

"Nggak perlu, udah selesai juga!"

"Kamu masih tetap sama, keras kepala!" gumamnya yang masih bisa kudengar.

Saat ini, aku tidak ingin mendengarkan apapun darinya.

Kemudian, hanya ada kesunyian di antara kami.  Hingga tiba di rumahku. Setelah mengucapkan terima kasih dengannya, aku hendak keluar dari mobil.

"Kamu sendirian?" aku tidak jadi keluar mobil lantas menoleh ke arahnya.

"Iya..."

"Berani?" nada bicaranya terdengar tidak yakin saat menanyakan pertanyaan itu.

"Iya..."

"Yakin?" kenapa sih dia menanyakan hal itu. Padahal aku sendiri sudah mengumpulkan semua keberanianku sejak tadi, pasalnya mbak Ina tidak menginap, dia akan kembali ke rumahnya setelah pekerjaan selesai.

"Bagus deh kalo berani, hati-hati ya" aku sedikit ragu sekarang.

"Kenapa nggak jadi keluar?" aku mendengus melihat ke arahnya yang ternyata sedang menampilkan wajah menggoda.

Hold MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang