DUA PULUH SATU

447 49 3
                                    

Keramaian yang saat ini memenuhi indera penglihatanku, disebabkan oleh mahasiswa yang berlalu-lalang demi menyelesaikan administrasi kuliah sebelum memilih atau mendapatkan KRS, karena di kampusku memiliki ketentuan bahwa wajib membayar UKT terlebih dahulu sebelum proses pembelajaran dimulai.

Aku baru saja menyelesaikannya, karena terlalu malas untuk langsung pulang ke kostan. Maka aku memilih duduk di taman kamus yang langsung menghadap ke berbagai mesin ATM di depan sana.

Dari kejauhan aku bisa melihat adik tingkat, yang kuketahui sejak semester lalu selalu berusaha mendekati Arya--sedang berjalan di hadapanku. Jika diperhatikan lebih jelas, dia cukup menarik. Memiliki rambut yang coklat-bergelombang, untuk wajahnya terkesan imut-imut karena memiliki muka sekaligus hidung yang kecil, hanya saja dia memiliki warna kulit yang tidak putih tapi tidak bisa dikatakan hitam juga, sawo mateng, mungkin istilah yang tepat untuknya. Lalu untuk pakaiannya sendiri dia cenderung feminim karena sering memakai rok. Secara keseluruhan dia cantik. Kenapa Arya tidak tertarik ya?

Aku tahu jika gadis ini sering memperhatikan Arya dari kejauhan, tidak hanya itu aku pernah mendengar langsung ketika sedang duduk di perpustakaan--dia sedang menggerutu karena tidak mendapatkan respon dari Arya. Sejak saat itu aku diam-diam memperhatikan dia. Sebab jujur saja aku sedikit kagum dengannya karena berani memperjuangkan rasa yang dia miliki, paling tidak dia berani mencoba, masalah terbalaskan atau tidak itu nanti saja.

Sepertinya dia sedang mengalami kesulitan karena terlihat dari raut wajahnya yang sedang menahan geram entah sebab apa. Namun untuk saat ini aku belum berani menyapanya. Jadi kubiarkan berlalu begitu saja dihadapanku.

***

"Buset... muke lu seger-seger banget, ngapain aja selama liburan?" Aldi yang baru muncul dari pintu bertanya pada anak-anak lain yang sedang asik bercerita sembari menunggu dosen datang ke kelas pagi ini. Aku tidak ikut membersamai karena didominasi oleh laki-laki selain itu juga karena aku belum terlalu akrab dengan mereka.

Tidak lama kemudian, Brilian masuk dari arah pintu kelas.

"Ngelamun wae, lagi bayangin apa lo?" Brilian duduk di sampingku.

"Nggak ada, gue nggak ngelamun"

"Cuma bengong, eh Len ikut kita yuk pulang nanti!" ajak Brilian.

"Kemana?"

"Kita mau liat pameran lukisan. Sebenernya gue nggak tertarik tapi dari pada langsung pulang, nggak ada kerjaan juga. Mending cabut." untuk hari ini memang hanya ada dua mata kuliah dan semuanya akan berakhir sebelum jam makan siang. Sebenarnya aku juga tidak memiliki kegiatan setelah ini.

"Boleh deh." akhirnya aku memutuskan untuk bergabung--ikut dalam kegiatan yang tidak menarik bagi Brilian tapi hendak didatangi olehnya.

"Ngapain aja lo selama liburan?"

"Nggak ada di rumah aja, asli gue bosen mampus Len. Kalo lo?" Brilian melihat ke arahku.

"Gue sempet ngajar di SD." jawabku kemudian.

"Serius? Kok bisa" Tanya Brilian dengan nada penasaran sekaligus tidak percaya.

"Gue gantiin guru yang sedang cuti melahirkan." Belum sempat aku mendengar respon Brilian. Bu Murti lebih dulu masuk ke kelas--dosen semester lalu yang memberikan Arya nilai C.

"Mampus ibu ini lagi" Aku mendengar Brilian mendesis karena melihat beliau. Aku tersenyum menahan tawa pasalnya ternyata bukan hanya Arya tapi Brilian juga mendapatkan nilai yang sama.

"Eh, gimana lo sama Tian?" Aku mengabaikan pertanyaan Brilian, selain karena bingung harus menjawab apa juga karena Bu Murti sudah mulai penjelasannya di depan sana.

***

"Eh... Alen juga ikut?" Baru sadar sejak mengatakan ingin ikut serta bersama Brilian aku tidak sempat menanyakan kira-kira siapa saja yang ikut. Satria yang barusan bertanya ketika kami berkumpul di area parkir fakultas.

"Lo nggak bawa mobil ya Bri?" Aku melihat ke sekitar, tidak menemukan mobil milik Brilian yang parkir di halaman ini.

"Nggak..." Jawab Brilian sambil cengengesan.

"Kok lo nggak bilang terus gue naik apa coba?"

"Lo nggak nanya?"

"Eh Bliyar... Lo kan yang ngajak, gue pikir karena lo yang ngajak pasti lo nyediain akomodasi perjalanan." Aku protes kepada Brilian.

"Lo pikir gue panitia trevel, cuk!" Masih dengan perdebatan kecil di antara aku dan Brilian. Tiba-tiba ada sebuah motor berhenti di antara kami yang kuketahui kendaraan itu milik Tian.

"Nih... Supirnya udah dateng. Yok ah, nanti keburu kelar pamerannya!" Ajak Satria. Ini gimana sih jadi maksudnya aku bareng Tian. Kalau tau gini mending aku nggak usah ikut.

"Ayok..." Tian membuka kaca helmnya dan memberikan ku satu helm lainnya yang ia bawa, ternyata sudah prepare.

Tidak ingin terlalu banyak bertanya, lantas aku langsung naik ke atas motor tanpa menunggu lama kami meninggalkan fakultas.

"Tumben mau ikut" Aku mendengar Tian bertanya.

"Nggak ada kerjaan, bosen juga di kossan terus." Aku menjawab pertanyaan Tian dan membuka sedikit kaca helm yang sedang aku kenakan.

"Berarti kalo nanti-nanti aku ajak keluar, mau kan!" Itu bukan pertanyaan, karena Tian tidak memberikan tambahan kata iya atau tidak pada kalimat tanya yang ia ajukan.

"Liat nanti."

"Kamu nggak mencoba menghindar lagi kan Al, kita udah resmi jadi temen loh." Tian berusaha mengingatkan kembali pembicaraan yang pernah kami lakukan ketika di rumahku.

"Aku nggak tau Yan, rasanya aneh aja. Aku masih belum terbiasa." Aku mencoba memberikan penjelas atas apa yang aku alami.

"Nggak papa, aku maklum. Kita udah lama nggak interaksi lagi, sekitar dua tahun jadi wajar aja kalo masih canggung. Tapi lama-lama nanti jadi biasa kok!" Tian mengatakan itu dengan nada yang begitu yakin. Aku sendiri tidak bisa memberikan jawaban apapun, jadi hanya bisa diam.

"Kenapa pulang nggak ngabarin aku?" Setelah terjadi keheningan beberapa saat, akhirnya Tian bertanya lagi.

"Kenapa harus?" Aku menjawab cepat.

"Ck ! Kebiasaan, nggak harus. Tapi kan kamu bisa kabarin siapa tau kita bisa pulang bareng dan kamu ada yang jagain." Aku tidak habis pikir dengan ucapan Tian barusan, kenapa ia harus menggunakan kereta sebagai transportasi karena jelas-jelas ketika pulang kemarin dia menggunakan mobil pribadi miliknya.

"Mobil kamu?"

"Aku memang udah nggak mau bawa mobil lagi. Susah parkirannya." Hingga saat ini aku tidak tahu Tian tinggal di mana.

"Soalnya halaman kosan ku sempit dan nggak enak juga sama penghuni lain." Ucapan Tian kemudian, seolah bisa membaca pikiranku.

Kami tiba di parkiran, aku turun dari motor hendak menyusul Brilian yang lebih dulu tiba.

"Al..." Tian menahan langkahku dengan menarik tangan kiri, aku langsung melihat ke arahnya dan dia tersenyum. Kenapa? Belum juga pertanyaan itu aku tanyakan. Tian lebih dulu menarikku ke arahnya yang menyebabkan jarak di antara kami begitu dekat.

"Kamu belum lepas helmnya." Ucap Tian sambil melepaskan helm di kepalaku, sesaat kami terpaku satu sama lain, hening.

"Udah sana, kalo mau masuk ! Malah bengong." Tian mengatakan itu sambil mengetuk pelan jidatku seolah membangunkanku dari mimpi panjang. Ish...

*KRS : Kartu Rencana Studi
*UKT : Uang Kuliah Tunggal

Jangan lupa vote and coment nya ya !!!
See you next chapter

Hold MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang