DUA PULUH ENAM

464 43 0
                                    

Happy reading...

Aku sering menghitung waktu dan berharap cemas kira-kira berapa lama lagi aku harus menjalani pendidikan S1 ini selain karena waktunya cukup lama dengan berbagai kegiatan di dalamnya yang sering kali membuatku jenuh aku juga ingin menemukan hal-hal baru.

Meskipun setelah jenjang ini selesai aku tidak tahu apa yang hendak dilakukan--setidaknya aku mempunyai mobilitas yang berbeda.

Saat ini, aku sedang mencoba merangkai kata demi kata agar bisa menyelesaikan tugas akhirku.

Selama masa kuliah--sebelum skripsi. Aku tidak pernah merasa sejenuh ini dalam menjalani hari-hari tapi saat ini semua terasa berat dan salah.

"Santai dong..." Aku mendengus tak suka saat merasakan ada yang memukul pelan kepalaku dengan gulungan kertas siapa lagi pelakunya kalau bukan Septian Mahanta Putra yang langsung duduk di sampingku dengan senyum yang menyebalkan--meremehkan lebih tepatnya.

"Nggak bimbingan?" Aku bertanya ketika dia sedang membuka ponselnya.

"Udah..." Sekilas dia menjawab pertanyaanku lalu kembali menekuni ponsel miliknya.

Aku masih mencoba memfokuskan mataku pada barisan paragraf di dapan layar laptop bersama dengan Tian sibuk dengan aktivitasnya. Mau apa dia?

Hingga aku menyerah, kuhelakan nafas sembari bersandar pada bahu Tian.

"Udah kalo capek istirahat dulu... Sebentar lagi makan siang, kita ke kantin aja yuk" Ajak Tian, aku menutup mata menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.

"Aku tuh jenuh banget Yan, ini tuh rasanya berat dan serba salah." Tian tak banyak berkomentar karena sebenarnya dia sudah hafal keluhanku, dia yang selalu ku jadikan tong sampah untuk semua keresahan ini. Kalau sudah seperti ini aku akan malas melakukan apapun dan Tian selalu ada untuk menemani.

Kami sama-sama berada di penghujung kuliah tapi yang membedakannya adalah jalan Tian lebih mudah dan pendek dari pada jalur yang harus kutempuh.

Tian mendapatkan dosen pembimbing yang menjabat sebagai Dekan--karena dulu semasa menjadi ketua BEM, Tian banyak memberikan sumbangsi terhadap fakultas maka pak Samsul dengan ikhlas mempermudah semua akses Tian bahkan kalau tidak salah dia sudah bisa sidang akhir bulan ini. Sedangkan aku? Sudahlah aku malas menceritakan bagian itu.

Masih dengan raut kesal milikku aku berjalan di belakang Tian, dia membawa tas jinjing berisikan laptop milikku.

"Sini... Jalannya yang bener nanti kesandung, sakit." Tian meraih tanganku dan membimbingku untuk berjalan di sampingnya.

Dalam perjalan, kami berpapasan dengan Bella, dia tersenyum manis ke pada Tian. Tolong dicatat hanya ke pada Tian, aku bahkan tidak diliriknya padahal kalau saja dia bersedia menurunkan pandangannya pasti langsung bisa melihat wajahku.

"Kayaknya Bella masih suka kamu" setelah mengatakan itu aku tidak mendapatkan respon apapun darinya.

"Kenapa nggak jadian?" Aku melanjutkan bertanya sambil mengarahkan pandangan ke arahnya tapi dia tetap diam berjalan di sampingku.

"Yan..."

"Hem..." Ketika mendengar respon darinya aku langsung menarik tanganku yang digenggamnya sejak tadi sebagai bentuk protes.

"Kenapa Al?" Dia bertanya dengan nada lembut sekaligus mencoba meraih tanganku kembali.

"Aku ngomong dari tadi, tapi nggak kamu tanggepin." Setelah ngedumel aku mendengar Tian terkekeh.

"Kita sampe kantin dulu ya baru aku tanggepin ucapan kamu tadi, sini..." Tian kembali meraih tanganku kali ini aku menerimanya.

"Kalo nggak digandeng begini jalannya pelan... Lebih lambat dari siput." Aku menghadiakannya injakan pelan pada kaki kiri miliknya.

Hold MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang