DUA PULUH DUA

440 47 1
                                    

Happy reading !!!

Kami memasuki ruangan yang menampilkan beragam lukisan. Ternyata di sini cukup banyak pengunjung yang datang, mulai dari pelajar hingga mahasiswa bahkan ada pekerja kantor yang menyempatkan hadir--terbukti dengan pakaian yang mereka gunakan masih berupa kemeja dan celana kain tak lupa dasi sebagai tambahan.

Aku berjalan menyusuri koridor, ditemani sinar lampu yang redup. Aku bisa melihat di setiap sudut ruangan terdapat lukisan-lukisan beserta nama senimannya. Lalu ada satu lukisan yang menarik minatku, pada lukisan itu terdapat seseorang yang berdiri di hamparan pantai dengan deru ombak yang begitu kencang namun sosok ini masih berdiri kokoh di tempatnya. Kemudian yang menarik di sini ada sesuatu yang seolah disembunyikannya di balik tubuh--digenggam dengan erat berusaha agar dunia tak melihat. Padahal tanpa dia sadari hal itu begitu jelas dilihat oleh seseorang yang berada di belakangnya, seperti aku saat ini.

Sebenarnya aku tidak terlalu pandai dalam menilai karya seni, sebab aku sendiri tidak berada di bidang itu. Tapi untuk karya seni satu ini aku sempat terpikir bahwa ada pesan yang ingin disampaikan oleh pelukisnya, kurang-lebih, sehebat apapun kita menyembunyikan sesuatu dari dunia tanpa kita duga banyak pasang mata yang telah melihatnya, siapa mereka? Orang yang berada di belakang kita.

"Seperti kamu ya?" Aku sedikit kaget mendengar suara Tian yang menyapa indera pendengaranku. Aku lantas mengernyit menatapnya penuh tanya.

"Iya kamu, selalu berusaha menyembunyikan..." Tian menggerakkan tangan kanannya untuk menyentuh lukisan itu.

"Padahal, jelas-jelas aku bisa melihatnya." Sungguh aku semakin bingung ke mana arah pembicaraan ini.

"Maksudnya?" Lagi-lagi dia mengetukkan jarinya ke dahiku. Aku mendengus tak suka.

"Ya udah kalo nggak paham, yuk ke sana." Seolah melupakan apa yang dia katakan barusan. Dia menarik tanganku agar berjalan di sampingnya, anehnya aku tidak merasa terganggu oleh perlakuannya.

Menjelang sore, kami memilih mencari makan yang berada tak jauh dari lokasi pameran.

Di sini ada banyak tempat makan yang mengkhiasi jalanan, yang kami lalui dengan berjalan kaki.

"Sat, aku mau makan di situ." Aku mendengar samar-samar Brilian mengucapkan hajatnya kepada Satria.

"Eh... Yan, Len kalian mau makan apa?" Sebenarnya, tempat yang Brilian inginkan adalah tempat makan yang menjual semua jenis makanan laut. Aku sendiri tidak bisa mengonsumsinya karena alergi.

"Kita pisah aja, Sat. Nanti ketemu di parkiran." Aku melihat Satria mengangguk lantas mengajak Brilian menuju ke tempat yang diingkan oleh Brilian.

Sementara aku dan Tian masih berjalan. Karena kondisi jalan yang cukup ramai, "Hati-hati dong mas jalannya." Aku merasakan ada tangan yang merangkul bahuku siapa lagi pelakunya kalau bukan Septian Mahanta Putra--menegur eh lebih tepatnya mengajukan protes kepada seseorang yang jalan berlawanan dengan kami. Pemuda ini mengangguk sambil mengucapkan maaf.

Setelah itu kami melanjutkan berjalan kaki hingga mendapatkan teman makan yang kuinginkan.

"Kamu mau apa?"

"Aku mau nasi ayam aja."

"Kamu belum makan nasi?" Aku hanya menggelengkan kepala karena tadi siang perutku belum terasa lapar.

"Ck kebiasaan kayaknya kamu butuh seseorang lagi, yang lebih dari teman." Aku mendengar decakan itu berasal dari Tian lantas aku melihat ke arahnya.

"Balikan yuk !"

"Ck !" Sekarang aku yang berdecak atas ajakannya. Aku tidak menghiraukan ucapannya. Dan kebetulan pesanan kami datang maka aku memutuskan untuk makan. Sepertinya karena tidak mendapatkan respon dariku Tian pun ikut memakan makanannya.
Padahal aku berharap dia memperjelas maksudnya.

***

Pagi ini aku dikejutkan dengan kedatangan Arya di depan kosan. Aku melihat dia duduk di atas motor melambai-lambai ke arahku.

"Sini...sini Len" Aku berjalan menghampirinya.

"Ada apa sih Ar, lo kok kayak nggak ada kerjaan banget?"

"Bantuin gue Len."

"Apa?" Aku melihat ke arah Arya yang sedang menampilkan raut wajah gelisah, "kenapa sih?" Aku bertanya lagi tidak biasanya Arya seperti ini.

Arya menunjukan ponselnya ke arahku. Aku bisa melihat ruang chat yang tampil di layarnya. Aku membaca satu persatu pesan yang dikirim oleh seseorang bernama "Sinting"--tentu Arya yang memberikan julukan itu.

"Terus kenapa?"

"Yah gue harus apa?" Aku sedikit bingung sekarang memberikan saran.

"Lo mau nggak?"

"Iya nggak lah, gila aja gue kehilangan identitas nih. Harga diri gue dipertaruhkan di sini." Arya mengatakannya dengan raut tak suka sekaligus tak percaya.

"Ya udah bilang aja nggak mau, tapi lo basah basi dulu." Aku menyerahkan ponsel Arya kepadanya.

"Langsung aja deh." Arya menolak usulku.

"Gila lo, ini tuh cewek. Nggak bisa banget jaga perasaan." Heran kenapa aku bisa berada dalam circle laki-laki yang tidak pandai berbasah-basi.

"Yaudah, serah nih cewek aja. Gue cabut deh." Arya memutar motornya.

"Jadi lo dateng ke sini cuma buat nanya itu?"

"Nggak sih, tadi gue emang lagi jalan deket-deket sini jadi pas banget waktu dapet chat sekalian mampir." Arya sudah siap akan meninggalkan kosanku.

"Jadi sebenernya lo udah tau jawaban apa yang mau lo kasih." Aku bertanya untuk memastikan dugaanku benar.

"Iyalah, gue ke sini sebenarnya mau liat reaksi lo kira-kira gimana, ternyata biasa aja. Ya udah gue cabutnya." Setelah itu Arya benar-benar meninggalkan halaman kosanku bersama tanda tanya di kepala. Maksudnya apa?

Untuk apa raut wajah gelisah miliknya yang ia tampilkan di awal tadi, jika dia sendiri tidak memikirkannya bahkan cenderung mengabaikannya.

***

Hujan sudah mengguyur kota ini sejak siang tadi, aku tau bahwa akan kesulitan untuk pulang kali ini. Pasalnya ketika hujan seperti ini sangat sulit menemukan ojek online dan biasanya harga yang ditawarkan aplikasi begitu tidak masuk akal. Jadi di sinilah aku menunggu kira-kira kapan aku bisa segera menyapa tempat tidurku.

Hingga ada suara yang menyapaku, "Pulang sama gue aja Len?" Aku langsung mengucapkan syukur di dalam hati. Ternyata Arya belum pulang--orang yang selalu aku butuhkan ketika pulang kuliah.

Tapi sebelum aku mengiyakan ajakan Arya, ucapanku tertahan karena ada sosok lagi di belakang Arya.

"Yaelah bang, tega banget sih. Padahal Tata yang mau dianterin, udah dari tadi nungguin. Eh malah ngajak cewek lain." Protes seorang gadis yang sekarang berdiri antara aku dan Arya.

Tapi seolah tak mendengar apapun yang keluar dari mulut perempuan ini Arya menghiraukannya begitu saja. Aku sendiri jadi tidak enak jika menerima ajakan Arya.

Entah berapa lama kami berada dalam posisi canggung ini. Sampai akhirnya, "Belum pulang Al, yuk sama Aku." Tian berdiri di sampingku.

"Noh bang, mbaknya udah dijemput sama pacarnya. Mending Abang anterin Tata, Tata belum ada pacarnya nih." Aku melihat ke arah Arya yang sekarang sedang menampilkan wajah kesal miliknya.

Lalu tanpa mengucapkan apapun Arya langsung pergi menuju parkiran yang diikuti perempuan yang kuketahui bernama Tata tadi.

"Siapa ? Pacarnya Arya?" Tian bertanya yang kujawab dengan gelengan, karena aku sendiri tidak tahu.

Akhirnya sore ini, untuk pertama kalinya ragaku pulang bersama Tian dan pikiranku bersama Arya.

Jangan lupa vote and comment ya !!!
See you next chapter

Hold MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang