Happy reading !!!
Aku melangkahkan kaki memasuki ruangan yang menjadi tempat sekaligus basecamp bagi kami untuk berkumpul dari penatnya jam kuliah atau sekedar menunggu jam masuk setelah pergantian jam-- yang jeda waktunya cukup lama.
Aku melihat ada beberapa teman sekaligus kakak tingkat yang sedang kumpul di dalam ruangan Sekret ini.
"Eh Len, nggak ada jam lo?" Aku duduk di antara mereka. Pertanyaan itu berasal dari Resi.
"Udah selesai, mau pulang tapi mager." Aku mengambil salah satu minuman yang masih bersegel--entah milik siapa, biasanya kalau sudah tersedia di tengah-tengah telah menjadi milik bersama. Aku meneguknya dengan khidmat.
"Eh.. main embat aja. Punya gue tuh." Untungnya aku telah menyelesaikan proses memasukan cairan ini ke dalam tenggorokan. Saat Brilian dengan santainya menepuk bahuku.
"Ya bagus deh punya lo, jadi gue nggak ngerasa punya hutang." Brilian berdecak ikut bergabung sampingku.
"Arya nyariin lo dari tadi, tuh sampe ketiduran gitu." Aku melihat ke arah sudut ruangan, aku bahkan tidak akan tahu kalau yang sedang tidur itu Arya karena dia menutup seluruh mukanya dengan tas.
"Mau ngapain?"
"Mana gue tau, lo bangunin aja." Tentu saja aku tidak berniat membangunkan Arya, biarkan saja mungkin dia benar-benar kelelahan saat ini.
"Kenapa lo nggak masuk?" Menatap Brilian yang saat ini sedang asyik memainkan ponselnya.
"Males gue, masih dendam nih sama tuh dosen." Ketus Brilian, aku baru sadar kalau Arya juga tidak ikut pada mata kuliah Bu Murti, ternyata mereka masih menyimpan rasa kesal.
"Lo siapa sih Bri, main dendam-dendam. Bu Murti mah bodoh amat lo mau benci dia pun nggak bakalan sadar, yang dia tau lo absen. Resikonya di akhir semester." Aku mencoba menjelaskan perihal peran yang sedang dilakukan oleh Brilian--sebagai mahasiswa yang tersakiti.
"Nanti deh, lo tau rasanya."
"Ihh... Doa lo jelek banget Bri." Aku langsung mengetuk tangan dan kepala secara bergantian, sebagai bentuk ritual yang sudah ada sejak lama.
"Berisik banget sih!" Protes itu berasal dari Arya yang saat ini sedang duduk sembari mengumpulkan kembali nyawanya--padahal dari tadi memang sudah berisik karena sejak kapan Sekret sepi kalau bukan libur semester.
Arya berjalan ke arahku, mengambil minuman dan langsung menandaskannya.
"Gimana tadi kelas?" Tanya Arya.
"Oh... kalian berkonspirasi ya nggak masuk?"
"Iya" Jawab Arya dengan santai.
"Bagus deh, jadi kelas bisa lebih kondusif dari biasanya. Sering-sering ya." Belum habis aku menyelesaikan kalimatku, Brilian lebih dulu melayangkan tangannya untuk menoyor kepalaku.
"Ish... Nggak sopan banget sih." Aku hendak membalas perbuatan Brilian, tapi tidak bisa karena dia lebih dulu menghindar. Tapi siapa sangka sekarang Arya yang dengan lugasnya merapikan rambutku dan mengusap-usap kepalaku.
Belum lama aku dibuat tertegun atas perbuatan Arya. Tiba-tiba Tian berjalan dari pintu masuk, otomatis melihat ke arahku dan Arya yang kebetulan kami duduk menghadap ke arahnya.
Untung saja Arya sudah menurunkan tangannya.
"Udah kan? Yuk pulang!" Tian yang berdiri di depanku yang sedang melihat ke Arya dengan tatapan menghujam. Entah maksudnya apa.
"Neh loh Len, pilih satu atuh. Jangan semua-semuanya di- embat." Kalimat yang keluar dari mulutnya Brilian memang tidak membantu apapun.
"Alen biasanya pulang bareng gue." Arya mengatakannya dengan nada yang santai sambil memainkan ponselnya.
"Mulai hari ini dan selanjutnya dia bareng gue."
"Kenapa?" Tian bertanya lagi.
"Lo nggak perlu tau, yang harus lo inget kalo mulai sekarang Alen sama gue." Tanpa menunggu respon Arya. Tian lebih dulu menarik tanganku untuk keluar.
Aku masih bisa mendengar suara Brilian.
"Nggak papa Ar, lo ikhlaskan saja. Tuh si Gigi udah nungguin lo di luar." Aku tidak lagi mendengar suara mereka karena sekarang kami sudah berjalan menuju parkiran.
"Kamu kenapa sih Yan?" Aku melepaskan cekalan tangannya yang sejak tadi menggenggam tangan kananku.
"Kamu pulang sama aku."
"Kenapa harus?"
"Ayolah Al jangan mulai lagi. Kamu naik aja dulu mau hujan." Karena kondisi saat ini memang sudah mendung. Maka aku langsung naik ke atas motor.
Tian melaju dengan kecepatan cukup kencang. Maka dengan semestinya aku melingkarkan tangan di pinggangnya. Aku teringat kejadian kemarin.
Ketika aku mencoba melepaskan pelukan Tian.
"Udah Yan, nanti ada yang masuk." Tian langsung melepaskan pelukannya dan duduk.
"Emang siapa yang sering ke kosanmu ?" Tanyanya penuh selidik. Aku hanya mengangkat bahu berjalan ke kamar untuk mengambil ponsel milikku.
"Aku serius Al. Arya sering ya main ke kosanmu?" Dia masih setia mengarahkan pandangannya ke arahku sambil menantikan jawaban dariku, terlihat dari raut wajahnya.
"Katanya tadi ada yang mau kamu jelasin. Ayo bicaralah." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Aku tanya sekali lagi. Apa Arya sering ke kossanmu?" Kali ini Tian menanyakannya dengan suara yang berat.
"Nggak, bahkan dia nggak pernah duduk di tempat yang saat ini sedang kamu duduki. Puas?" Aku melihat senyum terbit di sudut bibirnya.
"Oke, masalah apa tadi. Oh iya helm yang kamu bilang punya perempuan-perempuanku. Dengar ya itu memang helm milikku, yang ku beli karena ketika kegiatan Dies Natalis kemarin kami banyak berpergian yang jaraknya lumayan jauh." Jelas Tian tapi aku belum mendapatkan jawaban atas penjelasannya barusan.
"Kami yang dimaksud itu, kamu dan anak pariwisata itu?"
"Nggak hanya anak pariwisata, random pokoknya anak-anak BEM fakultas."
"Cewek?" Tanyaku cepat
"Iya... Eh tapi nggak semua cewek. Ada juga cowoknya."
"Tapi kamu beli helmnya untuk cewek." Protesku.
"Gini ya Al, waktu itu aku kehujanan dan berteduh di toko helm. Aku merasa nggak enak kalo harus berteduh tanpa membeli apapun. Jadi kuputuskan untuk membeli satu helm dan sungguh aku nggak terlalu memperhatikan gender helm tersebut. Warnanya hitam ya memang ada gambar hello kitty, tapi siapa yang peduli?" Terang Tian yang saat ini sedang menatapku sambil meraih tanganku.
"Satu lagi, perempuan-perempuanku--yang kamu maksud kan itu pasti ibu dan adikku kan. Mereka belum pernah pakai helm itu, karena helmnya selalu aku tinggal di Sekret BEM fakultas." Aku masih diam.
"Ada lagi yang tersimpan di sini?" Tanya Tian sembari menyentuh dahiku. "Kalo masih ada tanyakanlah sebelum nanti gantian aku yang bertanya?".
Aku melihat ke arahnya dan menggeleng pelan.
"Oke sekarang gantian aku yang tanya." Ada jeda waktu sebelum dia melanjutkan pertanyaannya.
"Masih adakah aku hatimu, Al?" Pertanyaan Tian membukamku.
Aku tidak tahu harus menjawab apa, aku sendiri bingung mengenai perasaanku saat ini. Aku juga masih sering bertanya-tanya mengenai perasaan ini.
Tian membiarkanku larut dalam pikiranku. Hingga dia, "Hei... Ini bukan pertanyaan sulitkan?" Dia mengangkat daguku agar bisa melihatnya.
"Tanpa kamu jawab, aku sudah tau jawabannya Al..."
Tian pede banget
Jangan lupa vote and comment ya !!!
See you next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold Me
Romance[PROSES PENERBITAN] Dulu kita pernah dipertemukan untuk saling melengkapi lalu menyakiti. Lantas semesta mempertemukan kita lagi.~Alenta Salmafina Ada yang harus diselesaikan. Bukan hanya perihal hubungan, tapi penjelasan yang pastinya kau nantikan...