- bintang 68 -

28 2 0
                                    

Setelah kegiatan Sabtu kemarin, semuanya sudah kembali seperti semula. Dimana ternyata Cindy merasa waktu berjalan lebih lama dari pada sebelumnya. Seluruhnya sudah kembali ke aktifitas seperti kemarin: Niko yang sudah (tambah) fokus menuju persiapan olimpiade setelah dinyatakan lolos, kemudian Arga yang sekarang juga semakin disibukan mengenai sertijab jabatan ketua OSIS-nya, dan Abel juga Kirei yang setiap hari Senin hingga Kamis mengikuti bimbel untuk mengejar ujian nasional nanti, lalu Manda yang sekarang katanya sedang berusaha sekuat tanaga mengejar Ray—kakak kelasnya di tempat kursus bahasa Inggris, juga Shafira yang katanya hubungan sudah semakin dekat bersama Evan.

Orang-orang disekitarnya terus berkutat dengan kegiatan yang sedang digulati masing-masing. Bumi berporos terlalu cepat hingga tak sadar sudah masuk bulan November. Dan Cindy masih suka pulang sendirian.

Sekarang perempuan yang sudah seminggu memilih untuk menghabiskan waktu istirahat di rooftop ketimbang kantin itu mulai memutar lagu Everybody yang dirilis tahun 1997. Matanya terpejam. Lagu ini bahkan tercipta saat ia belum diseludupkan ke bumi. Tapi terciptanya maksud dalam lagu dengan mudahnya Cindy tangkap. Otaknya seketika diisi oleh orang-orang yang belakangan ini kerap menemaninya ketika hari libur. Seperti Abel yang suka mengajak Cindy ke rumah pohon di Minggu sore misalnya.

Cindy mengangkat kepalanya lalu menatap depan. Semilir angin Rabu pagi menerpa rambutnya yang digerai dengan tambahan jepitan pita yang menahan poni panjangnya ke belakang, Cindy mendadak feminim dibuat oleh jepitan pemberian Abel seminggu yang lalu.

"Hai, Ndy." suara itu masih mampu Cindy dengar walau telinganya masih tersumpal earphone.

Cindy menoleh, Farel disebelahnya. Tangannya memegang kemasan snack kentang dan mengunyahnya tanpa canggung.

Gadis itu diam. Rasanya terlalu malas harus meladeni ocehan Farel yang seringkali tidak jelas.  Belum lagi delapan puluh lima persen dari semua ucapannya hanya merendahkan orang lain demi memperlihatkan kalau dia di atas segalanya.

"Ndy lo gak laper?"

"Kenapa?" Cindy meminta pertanyaannya di ulang setelah melepas satu kabel earphone ditelinganya.

"Gak laper?"

"Oh." dia kembali memasang ke kupingnya kembali, "enggak." katanya kemudian bersikap seolah kembali tak mau diganggu.

Tapi agaknya Farel kurang peka dalam hal itu. Atau bahkan sama sekali tak ada kepekaan? Buktinya dia masih usaha untuk membentuk banyak dialog ditengah-tengah mereka. Baginya gak peduli soal gimana respons lawannya. Dia terlihat seperti memikirkan dirinya sendiri.

"Padahal gue mau ajak lo pergi ke Dufan. Udah lama gak kesana." tadi dia lagi mengoceh soal ingin ajak Cindy ke Dufan hari Sabtu ini, tapi ditolak. Dia memang sudah punya janji dengan abangnya untuk menemani Bastian pergi ke Bogor.

"Iya gak bisa." kata Cindy pendek.

"Padahal seru banget kalo ke Dufan." kata Farel lagi. "Apa lagi sama lo."

"Ya kan bisa aja ke Dufan sendiri. Kalau mau masuk tinggal masuk. Gue bukan tukang wahananya kok, Rel. Jadi kalaupun gue gak ikut bukan berarti lo gak bisa menikmati suasana Dufan kan?"

"Ya beda dong, Ndy. Kalau kesananya sama lo, nanti kita bisa selfie terus posting ke Instagram."

"Jadi kesana cuma mau upload sosial media?"

"Eh bukan gitu." cowok ini terlihat salah tingkah. "Maksudnya.. Kalau kita ke sana kan bisa selfie buat kenang-kenangan. Terus kirim ke ige biar ya.. Kenang-kenangan juga, sih." belitnya.

Cindy senyum sekenanya, "tapi gue gak suka foto selfie anaknya."

"Oh.."

"Tapi gue juga suka sama cewek yang gak suka selfie." ujar Farel lagi. "Keren kayaknya. Berani beda."

Cerita Niko [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang