- bintang 69 -

23 0 0
                                    

Deru angin malam berhembus kencang. Gemerlap lampu di setiap sudut rumah-rumah kompleks terlihat terang. Bintang di atas tak mau menampilkan wujudnya. Suara hening paling kencang suaranya. Seolah bulan yang tidak kelihatan adalah sebuah saksi bisu antara cowok dengan kaus polos warna merah marun dan teh panas yang sudah dingin sejak setengah jam yang lalu.

Niko diam di atas balkon. Otaknya tidak berfungsi seratus persen sekarang. Sejak pulang sekolah tadi, pikirannya terus buyar seakan tidak bisa fokus sesuai kapasitasnya. Sejak kejadian dimana ada kecupan orang lain dipipi gadisnya membuat Niko kalang kabut. Rahangnya mengeras setiap kali mengingat kejadian diatas rooftop tadi pagi. Rasanya dia ingin marah. Bukan ke Cindy, tapi ke Farel. Lalu dia diam lagi. Dia pikir disitu Cindy tidak salah. Tapi tidak tahu kenapa seolah jiwanya juga sedikit memiliki rasa kesal terhadap pacarnya sendiri. Maksud Niko, apa Cindy tidak punya benteng perlawanan? Apa kejadian tadi harus berjalan begitu cepat? Terlalu lucu kejadian tadi kalau seharusnya dia tidak mengenal Cindy. Tapi ini sebaliknya.

Parahnya, disaat perasaannya sedang tidak terbentuk seperti sekatang, otaknya seolah malah memutarkan macam film dimana dia dan si nona Mentari membuat ruang dialog cukup panjang. Banyak sekali kejadian menyenangkan bersama Cindy yang terputar di otak Niko saat ini. Contohnya seperti waktu dimana dia dan Cindy sedang jalan-jalan di hari Minggu dan menyusuri jalan Kota Tua berduaan.

"Disini enak ya?" tanya Niko ditengah-tengah perjalanan. Suasana Kota Tua agaknya tidak pernah tidak ramai. Tempat ini selalu saja menjadi pusat banyak orang berkumpul. Entah anak muda yanh berdua bersama pacarnya, atau juga sanak famili yang sedang tamasya, atau bahkan orang tidak kenal yang menjadi kenal. Semua cerita ada disini. Di pusat kota bangunan tua di Jakarta.

Cindy mendongak, tadi dia sedang memperhatikan anak kecil perempuan didekatnya merengek ke orang dewasa yang berada disebelah anal kecil itu untuk dibelikan balon terbang. "Iya."

"Ramai dikit." kata Niko lagi. 

Cindy senyum. Kaki mereka terus melangkah. Niko mengaitkan jemari besarnya ke jari mungil milik Cindy. Sedikit bikin pipi gadisnya memerah, Niko tau itu, tapi dia hanya pura-pura tidak mengetahuinya.

"Kalau nanti punya rumah, maunya dimana?" tanya Niko.

"Gimana?" minta diulang.

"Mau punya di mana?"

"Di.." Cindy pasang raut seolah berpikir. "Pantai! Aku mau lihat ombak kalau pagi!"

"Ah, bahaya kalau tsunami."

"Eum. Di bukit? Sejuk, enak."

"Kalau longsor repot."

"Yah. Yaudah. Di desa juga bagus ya? Pemandangannya keren. Dekat sawah, jadi bagus banget!" ujar Cindy disertai kekehan kecil.

Niko menggeleng. "Jauh ah kalau mau kemana-mana."

"Ish. Di kota aja kalau gitu."

"Macet. Polusi. Padat."

Cindy mendadak berhenti sampai membuat cowoknya ikut berhenti.

"Terus dimana doong?!"

Niko senyum. Cara Cindy ngambek itu lucu. Sama sekali tidak menyebalkan. Justru menggemaskan. Ingin rasanya pipi merah seperti stawberry itu di cubit hingga buat si empu meringis.

Cindy memajukan bibir bawah. Kesal rupanya semua jawaban yang dia ujarkan selalu ditolak.

Niko mengacak rambut Cindy. Ketawa.

"Kita bikin rumah di Neptunus mau? Jadi orang pertama yang bangun kehidupan disana." kata Niko. "Mau?"

"Mauuuuu!"

Cerita Niko [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang