Ini bukan malam yang akan menyambut esok yang cerah penuh dentang riang. Bukan juga ujung perpisahan yang hendak bertemu segudang pelajaran yang terasa menjenuhkan. Namun, Jiskk dibuat resah tak terhingga sampai malam berada dipuncak gelapnya.
Berbagai cara telah Jiskk lakukan demi mengantarkan dirinya pada kantuk yang tak juga ia temui. Bahkan dua gelas susu pun telah ia jejalkan pada lambungnya yang sudah mengembung kenyang. Banyak cara-cara lain yang dia dapatkan dari internet soal itu, sampai pilihan terakhir jatuh pada buku bacaan milik Yeji yang tertinggal di kamarnya. Butuh satu jam dua puluh lima menit dia menyelesaikan buku dengan ketebalan 300 halaman tersebut. Alih-alih merasa kantuk, Jisoo justru merasakan bulu kuduknya berdiri. Meremang dan merinding. Dia bisa merasakan mendadak atmosfir di sekelilingnya menjadi senyap dan dingin.
Harusnya sejak awal dia tidak berurusan dengan benda-benda yang telah menjadi milik adiknya tersebut. Harusnya dia tahu, Yeji bukanlah layaknya gadis pada umumnya yang gemar menikmati warna-warni gulali yang mampu melenakan dan melunakkan. Seperti saat ini, Jisoo sedang merutuki novel—yang sialnya seru—itu mati-matian. Begitu selesai membacanya Jisok lekas membalik sampulnya,—sejak awal dia tidak memperdulikan judul beserta genrenya—dan ternyata judul yang tertera telah mengungkap isi ceritanya. Jisoo menatap horor rentetan kata yang bertajuk, 'I wanna kill you' tersebut.
Jisoo tidak tahu persis apa yang sekarang harus diperbuat. Pasalnya, pemuda yang mengidentifikasikan dirinya sebagai sosok penakut itu kini telah merasakan puncak pada ketakutannya. Bayang-bayang bagaimana jika tiba-tiba sebuah tangan muncul dari balik ranjang membuatnya kontan merapatkan tubuhnya pada tembok.
Kemudian sosok berambut panjang yang menggantung di atas langit kamar menggugahnya untuk bersembunyi dibalik selimut.Berpikir untuk berlari ke kamar Yeji tak meredakan degupan jantungnya yang menggila. Yang hinggap dipikirannya justru sosok tak berkepala yang berdiri dibalik pintu.
Ting!
Suara notifikasi dari ponsel yang mendadak muncul membuat Jisoo terlonjak kaget, bahkan hampir berteriak jika dia tidak mengingat kamar Yeji yang terletak persis di samping kamarnya.
'Astaga, aku menjadi parno begini.'
Jisol mengelus dada seolah sedang menjinakkan jantungnya agar tidak loncat dari tempatnya.
Jisoo jadi terpikir akan satu hal yang pasti mampu sedikit meredam ketakutannya. Tangannya lekas menyambar benda persegi panjang tersebut. Dia mencari sebuah kontak dengan huruf 'M' di bagian depannya. Dengan semangat dia tempelkan ponselnya pada daun telinganya. Kemudian suara operator yang mengatakan panggilan sedang berada di luar jangkauan, membuatnya semakin gelisah. Namun, Jisoo tidak mau menyerah. Dia berasumsi jika lebih bersabar lagi maka pemilik ponsel di sana pasti akan mengangkatnya.
Panggilan ketiga suara operator yang kembali mengalun tetap tak membuatnya resah, justru dia kian memencet tombol panggilan dengan brutal. Panggilan keempat, dia tetap tak menyerah. Panggilan kelima dia merasa kesal. Kemudian panggilan keenam, Jisoo mengumpat frustrasi. Hingga sampai pada panggilan ketujuh Jisoo bersumpah, jika gagal lagi dia akan mengubur anak Onta itu hidup-hidup.
Entah, karena Tuhan tidak ingin Jisoo dijebloskan ke dalam penjara, atau karena Tuhan tidak menginzinkan kematian untuk pemuda tersebut. Suara berat nan serak pun menyambut panggilannya.
"Nuguseyeo?"
"Ya! Anak Onta! Kau sungguhan mati, hah?!" sembur Jisoo, dia sudah tidak bisa lagi menahan suaranya.
"Akh ... kau rupanya. Apa kau sudah gila menghubungiku di tengah malam begini?"
"Jangan sembarangan mengataiku gila! Aku tidak mungkin menghubungimu tanpa alasan, bodoh!" makinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEst FRIEND | Minshua
Romance-sahabat? Tentu saja mereka adalah sahabat, tapi mungkin mereka tak menyadari ada 'sesuatu' yang bersembunyi di balik kata itu-