Jisoo terkekeh kecil, tak bisa menahan kegeliannya kala kekonyolan Mingyu kembali terngiang di kepala. Setelah menggertak dirinya di bus tanpa malu, kemudian merajuk tak mau tahu, lalu apa lagi?
Mengapa harus tingkah konyol setelah merajuk? Jisoo menggeleng-geleng, tak habis pikir dengan kinerja akal Mingyu yang cukup berantakan hari ini. Jisoo menendang selimut bergaris yang menutupi setengah badannya. Merasa bosan kala nyaris empat puluh menit kenyang bermonolog sendirian. Menunggu Mingyu yang tak juga masuk ke dalam kemah menambah jemu dalam kepala. Entah mau sampai kapan bocah itu akan terus menghindarinya.
Jisoo mendapati Mingyu masih duduk di sana—di tempat keduanya menikmati makan malam. Bergeming menatap api unggun yang gelombang apinya mulai menurun. Jisoo mengeratkan jaketnya sebelum menghampiri Mingyu dan duduk di sebelah kiri pemuda itu.
Kernyitan tercipta selaku respons lain yang tidak didapat. Seumbar kekeh pun terlepas begitu sadar sahabat bongsornya tengah tenggelam dalam lamunannya sendiri.
Lamat-lamat menilisik, ingin tahu apa yang ada dalam pikiran Mingyu. Tak biasanya pemuda itu melamun sampai-sampai tak sadar bila ada yang duduk di sampingnya. Terbesit kejailan, Jisoo mendekatkan wajahnya sedikit, menatap lekat-lekat pemuda itu sembari mengulum senyum kuat-kuat. Wajah Mingyu yang tengah tercenung tampak konyol, bahkan kedua belah bibirnya ia katup rapat-rapat agar tak meledakkan tawa yang dapat mengahancurkan keadaan.
Untuk sepersekian detik Jisoo terkesiap kala bukan lagi rahang tegas yang dia saksikan. Iris mata yang begitu pekat menatap lekat ke dalam matanya. Begitu tajam, mendominasi, tetapi memancarkan hangatnya secara bersamaan. Enggan menafsirkan lebih jauh, Jisoo lantas tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi kelincinya yang jarang terlihat—untuk Mingyu—dengan harapan tatapan itu lekas buyar. Namun, yang terjadi justru selebihnya. Ketika tangan Mingyu bergerak, hingga perlahan hinggap di pipi kanannya yang kontan terbujur kaku. Jisoo terdiam. Ibu jari Mingyu nyatanya enggan bergeming, merambat pelan, ke atas dan ke bawah, mengirim gelenyar aneh pada tiap-tiap pori-pori kulit yang Jisoo rasakan.Selayak terpatung, Jisoo mengutuk raganya yang tak mau bertindak apa-apa. Ingin sekali ia menepis, beranjak, dan lekas mengakhiri keanehan ini. Ayolah, dia Hong Jisoo, yang—bahkan—telah mengenal Mingyu seperti ia mengenali dirinya sendiri; aib-aib yang menjamur beserta keabnormalan yang sudah mendekam sejak dalam selaput rahim ibunya. Bukan Kim Jisoo yang bisa-bisanya terpaku dengan keadaan konyol ini. Namun, tatapan Mingyu yang kian mendalam seolah mengelabuhinya hingga tulang rusuk, mengutuknya hingga lumpuh gerak sampai suara rendah Mingyu menyadarkan.
"Jisoo, bagaimana menurutmu ...," Ragu Mingyu mengatakannya. Iris mata Jisoo seperti menyihir, hingga jantungnya tidak bisa hanya berdegup sendirian. Mulutnya juga ingin berucap. Namun, apa yang harus ia katakan? Apakah ini waktu yang tepat untuknya mengungkap? "... bila aku jatuh cinta pada seseorang?" Tentu saja tidak. Dia harus memastikan terlebih dahulu, apakah Jisoo memiliki perasaan lebih terhadapnya. Jangan sampai karena kecerobohan semuanya menjadi hancur.
Sempat Jisoo tercenung sejurus sebelum mulutnya cepat-cepat ia katup kembali.
"Ohh, jadi sejak tadi kau duduk seperti orang bodoh di sini karena merenungkan cintamu?" Seketika Jisoo mengasihani momen—empat puluh menit—menunggunya di dalam tenda sendirian.Mingyu diam, masih menatap lekat ke dalam manik Jisoo yang terbuka lebih lebar. "Berhenti menatapku! Katakan saja bila kau ingin meminta bantuanku, Bodoh!" Lantas Jisoo bangkit dari duduknya.
Mingyu ikut berdiri."Iya, aku memang butuh bantuanmu," jawabnya lugas.
Jisoo mendecih,"Urus saja urusanmu sendiri."
Mingyu menarik pergelangan tangan Jisoo kala Jisoo hendak kembali ke dalam tendanya."Ohh, apa lagi sekarang? Kau mau mengemis padaku?"
"Iya, aku akan melakukannya," jawab Mingyu lagi. Jisoo menarik tangannya, tetapi Mingyu semakin erat mencengkramnya. Jisoo membuang muka ketika Mingyu kembali menatapnya. Tak elak, tetapi ia tetap tak mau mengaku bila ia merasa gugup ditatap selekat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEst FRIEND | Minshua
Romance-sahabat? Tentu saja mereka adalah sahabat, tapi mungkin mereka tak menyadari ada 'sesuatu' yang bersembunyi di balik kata itu-