C H A P T E R 5 : Misteri Pembunuhan di SMA Nusantara 2 (Bagian 3)

184 8 0
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi, waktu telah menunjukkan pukul 14.00. Bu Aan, guru akuntansi pamit meninggalkan ruangan kelas diikuti anak-anak yang lain. Tak butuh waktu yang lama, di kelas hanya menyisakan empat orang. Empat orang itu ialah Ryan, Vella, Steve dan Julian.
“Lu mau ngomong apaan sih?” tanya Steve kepada Ryan.

“Aku mau minta bantuan kalian. Kalian bisa?”

“Bisa, bisa saja. Memangnya masalah apa?” tanya Julian.

“Kita bantu Vella untuk menyelesaikan masalah pembunuhan Cindy. Kita tangkap pelakunya!”

“Bantu Vella? Memangnya lu bisa lihat hantu juga, Vell?” tanya Steve.

“Hmm,” jawab Vella sambil menganggukkan kepalanya.

“Keren, pantas saja lu tadi pagi aneh banget. Gue lihat lu kayak ngomong sendiri di koridor. Lu tadi pagi ngobrol sama si Cindy?”

“Iya, Cindy minta bantuan aku untuk menangkap Jonathan pacarnya.”

“Jonathan? Jonathan anak kelas 11 IPS 2?” tanya Julian.

“Ya sudah, sekarang kita cari Jonathan! Kita ikuti dia untuk mencari bukti,” ajak Steve penuh semangat.

Mereka berempat pun beranjak dan segera menuju parkiran.
“Itu, mobil si Jo. Ayo kita ikuti dia!” ajak Steve.

“Vell, kamu biar aku bonceng ya!” ajak Ryan.

Mereka pun segera naik ke motor mereka.
“Nih, helmnya!” ucap Ryan sambil menyerahkan helm.

“Makasih,” jawab Vella sambil memakai helm yang diberikan.

“Ayo, cepat! Nanti dia keburu jauh,” ajak Steve lagi.

“Iya, iya sabar dong!”

Mereka pun menjalankan motor mereka untuk mengejar Jonathan.
**
“Hmm, ini motor kok ngikutin gue terus ya! Siapa sih mereka?” tanya Jonathan.

“Gue juga ga tahu. Gue ga kenal sama motornya. Lu punya musuh?” tanya Gio.

“Kagak, gue ga punya musuh.”

Tiba-tiba sosok Cindy muncul di kursi belakang mobil Jonathan.
“Jonathan,” panggil Cindy.

Jonathan yang sedang menyetir, menengok ke spion untuk melihat siapa yang memanggilnya.
“Cindy? Bukannya lu sudah meninggal? Kenapa lu ada di mobil gue?” tanya Jonathan kaget.

“Cindy? Cindy pacar lu ada di sini? Bukannya dia sudah lu bunuh ya kemarin?” tanya Gio.

“Iya, Gi. Dia di kursi belakang.”

Gio menengok ke kursi belakang. Gio tidak melihat apapun di belakang.
“Di belakang kosong ah. Lu mungkin kelelahan.”

“Ah, yang benar masa lu ga lihat dia.”

“Gue serius, di belakang tidak ada siapa-siapa.”

Jonathan kembali melihat kaca spion. Jonathan tidak melihat Cindy.
“Eh, iya kok dia hilang ya! Jelas-jelas tadi dia ada di belakang. Mungkin benar kata lu, sepertinya gue kelelahan.”

“Lebih baik, kita makan sate kelinci saja, yuk! Kita ke Lembang sekarang!”

“Hmm, bagus juga ide lu, kita ke warung sate yang biasa ya!”

Jonathan pun mengubah arah mobilnya menuju Lembang.
**
Di tengah perjalanan, Cindy kembali muncul di mobil Jonathan.
“Serahkan dirimu ke polisi!” teriak Cindy sambil mencekik Jonathan dari arah belakang.

“Lu kenapa, Jo?” tanya Gio panik.

“Gue dicekek sama si Cindy. Gue ga akan menyerahkan diri ke polisi,” jawab Jonathan sambil berusaha melepaskan cekikan Cindy.

“Jo, awas! Kita sudah di jalur orang.”

Tiba-tiba ada sebuah mobil dari arah berlawanan mulai mendekat ke arah mobil Jonathan.
“Jo, awas ada mobil!” teriak Gio.

Karena panik Jonathan langsung membanting stir ke arah kanan sehingga mobilnya lepas kendali dan jatuh ke dalam jurang.
“Jo, bangun mobil lu sudah berasap nih! Ayo, kita keluar kayaknya mobil lu bakal kebakar.”

Jonathan sadar dan berusaha membuka pintu mobilnya.
“Gue ga bisa keluar, lebih baik lu keluar duluan cari pertolongan. Kaki gue kejepit.”

Gio keluar dari mobil dan berteriak, “Tolong! Tolong!”
Tak lama, mobil Jonathan mulai terbakar.
“Gio, lebih baik lu pergi dari sini. Kayaknya sebentar lagi mobil gue bakal meledak.”

“Tapi gue, ga bisa ninggalin lu sendiri, lu bisa mati.”

“Gue, ga apa-apa! Lebih baik lu pergi sekarang juga! Apinya sudah semakin besar. Cepat pergi!” teriak Jonathan.

Karena tidak mau mati, dengan berat hati dia menjauh dari mobil Jonathan. Tak lama, mobil Jo meledak.
“Jo!!!!” teriak Gio.

Flashback :  on
Sebelum mobil Jonathan meledak, Cindy kembali muncul.
“Hahaha, itulah akibatnya kalau tidak mau tanggung jawab. Kau akan mati di sini.”

“Maafin gue, Cindy. Gue sudah membunuh lu.”

Flashback : off
**
Di pemakaman Cindy…
“Cindy! Kenapa kamu meninggalkan Ibu secepat ini?” teriak Zara, ibunda Cindy.

“Bu, Ibu yang sabar ya! Ini mungkin sudah takdirnya. Cindy sudah bahagia kok,” ucap Ryan menenangkan.

“Makasih, Nak Ryan. Sebenarnya Cindy tidak menyukai Nak Jonathan. Dia memilih Jonathan daripada kamu karena Ibu yang minta,” jelas Zara.

“Ibu yang minta?” tanya Ryan.

“Iya, Nak Ryan. Dia sebenarnya berat mutusin kamu. Dia sampai saat ini masih mencintai kamu. Dia terpaksa mutusin kamu. Ibu menyuruh dia untuk menerima cinta Jonathan supaya Nak Jonathan memberikan sejumlah uang untuk keperluan kami berdua. Tolong maafkan ibu ya!”

Ryan terdiam sejenak mendengar pengakuan Bu Zara.
“Tidak apa, Bu. Aku sudah maafkan semuanya, yang sudah terjadi ya sudah.”

“Serius, Nak Ryan? Kamu sudah memaafkan kami berdua?”

“Serius, Bu. Aku sudah maafkan Ibu dan Cindy.”

“Makasih, Nak Ryan. Oh iya, apakah Cindy ada di sini?” tanya Zara.

“Iya, Bu. Dia sedang tersenyum bahagia. Katanya sampai ketemu lagi!”

“Makasih, Ryan, Kak Vella! Aku pamit,” pamit Cindy.

Sosok Cindy hilang.
“Ya sudah, Bu. Aku sama teman-teman yang lain mau pamit dulu. Sudah sore.”

“Iya, Bu. Sudah sore, kami mau pamit pulang. Ibu yang sabar ya!” tambah Vella.

“Makasih, Nak! Hati-hati di jalan!” jawab Zara.

**
Di parkiran pemakaman…
“Eh, Ryan, gue sama Julian duluan ya! Gue sudah dicariin papa,” pamit Steve.

“Iya, mama aku juga tadi telepon suruh cepat pulang,” tambah Julian.

“Ya sudah, aku mau antar Vella dulu ke rumahnya. Kalian duluan saja.”

Steve dan Julian menaiki motornya dan meninggalkan tempat itu.
“Ya sudah, ayo kita pulang, Vell! Biar aku antar. Nih, pakai helmnya.”

“Makasih, Ryan! Oh iya, aku mau nanya apakah Cindy sudah kembali ke alamnya atau masih di dunia ini?”

“Hmm, aku juga kurang tahu. Kalau urusan dia di dunia sudah selesai, dia pasti tidak akan muncul lagi.”

“Oh gitu. Ya sudah kita pulang sekarang ya!”

Vella pun menaiki motor Ryan.
**
Di tengah perjalanan…
“Ryan, kita mampir makan dulu ya! Aku lapar. Boleh ya?”

“Kamu lapar? Memangnya kamu mau makan apa?”

“Makan bakso. Kamu tahu tukang bakso enak di Bandung?”

“Tahu, kita sekarang ke sana ya! Kebetulan aku juga suka banget sama bakso.”

“Kebetulan banget ya! Makanan favorit kita sama.”

**
“Mang Mamat, pesan baksonya 2 porsi ya!”

“Siap, Mas Ryan! Makan sini bawa pulang?”

“Makan sini. Ayo, kita duduk!”

“Iya,” jawab Vella.

Tak lama pesanan mereka datang.
“Silakan, Mas Ryan. Neng cantik ini siapa, Mas? Pacarnya?” tanya Mang Mamat sambil menaruh 2 mangkok bakso di meja.

“Makasih, Mang. Bukan, Mang. Dia teman saya namanya Vella.”

Meni geulis. Maaf, kirain Mang Mamat pacarnya Mas Ryan.”

Meni geulis? Maksudnya Mang Mamat apaan, Ryan?” tanya Vella kebingungan.

“Maksudnya kamu sangat cantik,” ucap Ryan menerjemahkan.

“Oh, artinya sangat cantik. Makasih, Mang!”

Sami-sami, Neng. Neng Vella bukan orang Bandung ya?”

“Iya, Mang. Saya pindahan dari Jakarta. Jadi maklum ga ngerti bahasa sunda,” jawab Vella sambil tersenyum.

“Ga apa-apa, Neng. Saya permisi dulu, mau menyiapkan pesanan yang lain.”

“Oke, Mang,” jawab Ryan.

Tiba-tiba hujan lebat mengguyur Kota Bandung. 
“Yah, hujan besar. Ryan kamu bawa jas hujan?” tanya Vella.

“Ngga. Jas hujannya ketinggalan. Kalau sesudah makan masih hujan, kita tunggu di sini dulu saja ya! Tunggu reda. Semoga hujannya sebentar.”

“Amin.”

“Bagaimana baksonya? Enak?”

“Enak, aku suka. Apalagi makannya waktu hujan-hujan, rasanya makin nikmat,” jawab Vella sambil menyeruput kuah bakso.

“Syukurlah kalau kamu suka.”

**
Setelah selesai makan, Ryan pergi membayar. Ryan menyuruh Vella menunggu di tempat duduk.
“Jadi berapa, Mang?”

“Dua puluh empat ribu, Mas.”

“Ini uangnya 25 ribu ya! Kembalinya buat Mang Mamat saja.”

“Serius, Mas Ryan? Makasih ya!”

“Sama-sama.”

Ryan kembali ke Vella.
“Yuk, Vell! Hujannya sudah reda. Kita pulang sekarang ya!”

Ryan dan Vella pun kembali berboncengan menyusuri jalan-jalan Kota Bandung untuk sampai di rumah Vella.
**
“Sudah sampai, Vell.”

“Oh, sudah sampai. Makasih ya, Ryan! Ini helmnya.”

“Sama-sama. Aku pamit dulu ya! Sampai ketemu besok!”

“Hati-hati di jalan!” teriak Vella.

Setelah Ryan pergi, Vella membuka pintu gerbang rumahnya.
“Cindy, kamu yang tenang ya di sana!” ucap Vella sambil berjalan masuk ke rumahnya.

Bersambung...
Revision October 2020
©2020 By WillsonEP

Indigo 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang