Senangnya hatiku~
Turun panas demamku~
Kini aku bermain dengan riang~Bella menyusuri jalan pulang dengan langkah ringan sambil bergumam jingle obat flu itu. Jalanan di London sangat nyaman untuk pejalan kaki, terutama dengan angin yang berhembus tidak kencang tapi tetap dingin dan matahari yang mulai surut. Sudah seminggu Bella tinggal di London. Orientasi mahasiswanya berjalan lancar. Justru akhir pekan kemarin dia merasa agak under the weather. Tapi sekarang demamnya sudah hilang, dan dia bisa belanja bulanan. Makanan yang dia bawa dari Indonesia dengan cepat berkurang karena dia belum sempat membeli makanan. Sejujurnya dia agak heran, saat tantenya bilang dia punya roommate. Tapi keadaan kulkasnya dan lemari hampir kosong. Kecuali makanan bekas yang tidak layak konsumsi dan susu yang sudah kadaluarsa. Bella hampir merinding dengan keadaan yang menurutnya horor itu.
Sesampainya di rumah, dia segera menata belanjaannya di dapur. Setelah rapi, dia menyiapkan bahan untuk dimasak. Baru saja tangannya hendak mengambil telur, Bella mendengar suara langkah kaki yang menuruni tangga. Suara langkah yang cukup berat dan lambat pada tangga kayu. Bella melotot, tapi tidak berani menoleh ke arah tangga. Mulutnya mulai komat-kamit, berdoa. Tapi tangannya mencari senjata, pisau. Kalau setan, pasti sudah pergi. Kalau maling, akan dia lawan.
"Kamu siapa?" Bella melonjak, saat suara itu tiba-tiba dibelakangnya. Bukannya menusuk, dia malah menjatuhkan pisau yang dipegang saking kagetnya. Dia tidak sadar bahwa suara langkah kayu sudah berhenti dari tadi, digantikan dengan suara langkah biasa. Dia terlalu tegang.
"Who are you?" tanya Bella tanpa membalikan badan. Dia harus siap dengan pisau selanjutnya. Sudah terbiasa menggunakan bahasa Inggris, dan tidak sadar bahwa barusan 'maling' itu bicara dalam bahasa Indonesia.
"Keponakan Rita?" tanya suara itu lagi. Bella menoleh, dan kaget dengan apa yang dilihatnya. Tidak, dia tidak kenal siapa cowok itu. Tapi ganteng.. Pikirnya. Yang membuatnya lebih kaget lagi, cowok itu tau dirinya. Yah walaupun tidak spesifik sekali. Butuh lima detik, untuk akhirnya dia sadar bahwa cowok di depannya ini ROOMMATE-NYA.
Masih belum hilang rasa kagetnya. Bella hanya bisa melotot, saat cowok itu justru tersenyum ringan dan mengambil pisau dari tangannya dan menaruh benda tajam itu ke konter.
"Felix. Kamu?" ujarnya sambil menjulurkan tangan.
Sambil megap-megap, Bella akhirnya berhasil mengucapkan namanya. Tanpa basa-basi dia berlari ke kamar. Berusaha menjernihkan pikirannya. Iya, dia harus berpikir. Seumur hidupnya dia tidak pernah sekacau ini. Dia tipe cewek yang bisa mengambil keputusan dengan kepala dingin dan bijak. Orang-orang bahkan menyebutnya elegan. Tapi jelas sekarang kepalanya sedang panas, karna dia bisa melihat pipinya memerah saat Bella bercermin di kamarnya. Dia membuka jendela, menghirup udara London yang cukup bersih, terutama karna rumahnya bukan di jalan raya. Rumah tantenya.
Dipikir sebagaimanapun, Bella tidak tahu dia harus berbuat apa. Jelas dia harus meminta penjelasan ke Tante Rita. Tapi selama sepuluh menit mereka berbincang-bincang lewat telpon. Kesimpulannya adalah Felix anak baik, dia akan aman. Bella menggigit jari tanda bahwa dia sedang berpikir.
Kalau dia minta budget tambahan orangtuanya untuk tinggal di dorm, pasti tidak mungkin di kasih.
Kalau dia cari pekerjaan tambahan untuk bayar dorm, butuh waktu lama. Lagipula dia baru melamar untuk kerja part-time, yang gajinya hanya cukup untuk makan dan hangout.
That's it. Dia tidak punya solusi lain.
Ketukan pintu terdengar tiga kali. Bella langsug menoleh ke arah pintu. Dia tidak mengunci pintunya, jadi kalau cowok itu mau masuk...
...
Bella berjalan untuk membuka pintu. Mau tidak mau, dia harus menyelesaikan masalah ini dengan masalahnya langsung. Haduh, padahal hari-hari sebelumnya berjalan lancar sekali.
"Udah makan malam?" tanya cowok itu langsung setelah Bella menarik pintu. Oke, Bella harus berhenti memanggil cowok itu dengan sebutan 'cowok itu' dan mengganti dengan nama 'Felix'.
Dengan pikiran yang lebih tenang setelah menghidup udara segar. Bella jadi lebih dingin. Dia mengangkat bahu dan berhedam. "Belum."
"Good. Kamu habis belanja kan? Bisa masakin aku sekalian?" tanya cow-- Felix.
"Hah?" Bella menyambar galak. "Gamau." Ucapnya lagi setelah cowok itu masih menatapnya.
"Hm, mau makan diluar?" tanya cowok itu lagi.
Bella tidak habis pikir, bagaimana cowok di depannya bisa berbicara secasual itu, sedangkan dirinya harus membutuhkan tiga hingga empat detik untuk menjawab. Dia kesal.
"Kalau mau, ayo! Aku lapar." kata cowok itu lagi, saat Bella tidak juga membalasnya.
Lima belas menit kemudian, mereka sudah berada di restoran india. Salah satu kesukaan Bella, setelah diajak temannya mencoba masakan India kemarin lusa.
"Kamu kuliah atau kerja?" tanya co-- Felix.
"Kuliah." jawab Bella singkat. Cowok itu mengangguk, tidak tanya lebih lanjut. Sedangkan Bella terlalu gengsi untuk bertanya. Tapi setelah dipikir lagi, bukannya dia harus ngobrol untuk meluruskan masalah rumah ini ya? "Aku pindah aja." Bella hampir menabok mulutnya sendiri. Iya, dia bego.
"Kenapa?" tanya Felix. Tapi Bella tidak menjawab pertanyaan itu juga. Karena memang sejujurnya dia tidak punya alasan (atau uang) untuk pindah.
Felix masih menatapnya bingung, dengan mata yang tajam. Padahal dia sendiri kan juga punya mata yang tajam. Tapi dia tidak berani lihat-lihatan. Kalau dengan adiknya, mereka pasti sudah main pelotot-pelototan dengan sengit. Beruntung makanan datang di saat yang tepat. Mereka makan dalam diam.
-----------------------------------------------------------
Add this story to your library, vote, share, comment and follow me. 😽
KAMU SEDANG MEMBACA
Under The Same Roof
ChickLitSo, here we go again I kiss that girl again And suddenly it must come to an end -Ardhito Bella berusaha untuk keluar dari rumah itu agar hidupnya terasa lebih tenang selama tinggal di London. Tapi uang saja tidak punya. Sehingga dia terpaksa tinggal...