Sepuluh tahun lalu...
Liburan tahun baru itu akan menjadi liburan persiapan stress. Karena setelah itu Felix harus terus belajar mempersiapkan Ujian Nasional SMP. Keluargnya memutuskan untuk berlibur ke Malang, yang dekat saja. Banyak yang orang tidak tahu, Malang itu lebih luas dari hanya kota pusatnya saja. Banyak wisata pegunungan lain yang bisa dikunjungi. Seperti sekarang, mereka melewati jalan yang agak terjal dengan jurang di kiri dan kanan. Hanya untuk sampai ke tempat wisata pohon pinus. Untungnya jalanan tidak macet, karena mereka pergi bukan saat hektik-hektiknya liburan. Pekerjaan papa yang cukup sukses, membuatnya bisa berlibur kapan saja.
"Naik.. naik ke puncak gunung.. tinggi tinggi sekali.." Felicia adiknya yang masih SD mulai bernyanyi. Felix juga ikut bernyanyi, disambung mama dan papanya. Membuat harmoni yang sama sekali tidak layak dengar.
"Eh, jangan berdiri." Felix memegangi adiknya yang membuka kaca dan berdiri untuk menikmati angin sejuk.
"Pintunya sudah dikunci kan, pa?" tanya mama.
"Sudah." jawab papanya.
Meskipun begitu, Felix tetap memegangi adiknya, yang siapa tahu bisa terbawa angin saking kurusnya.
"Dinggiiinn.." jerit adiknya senang.
Tiba-tiba hp papanya berbunyi. Dari tempatnya duduk Felix bisa melihat nama yang muncul pada layar hp itu, yang di taruh pada tempat gelas depan AC kemudi. Felix duduk dibelakang papanya, dan Felicia duduk di belakang mamanya. Tapi papanya kemudian membalik hpnya hingga layarnya menghadap ac.
"Siapa pa?" tanya mama setelah dering telpon berhenti.
"Bukan siapa-siapa." jawab papa.
Felix memutuskan untuk menyetel radio. Tapi di tempat seperti itu, tidak ada siaran yang benar-benar bagus. Apa dia berhenti di channel dangdut, karena hanya itu yang nyaman di dengar?
"Gak suka. Aku ga mau denger." kata Felicia saat Felix tidak juga mengganti radionya dari musik dangdut.
Felix tertawa, tapi akhirnya mencoba mencari channel musik lain. Tapi tidak juga ada yang bisa diputar. Sampai dering telfon papanya berbunyi lagi.
"Angkat aja telfonnya. Siapa tau penting?" kata mama. Felix ikut mengangguk setuju. Tapi tidak berhenti dari mengutak-atik radio.
"Gak penting kok." kata papa juga.
"Ya udah sini, mama yang angkat." kata mamanya sambil berusaha mengambil hp papanya. Membuat mobilnya goyang sedikit. Felix ikut kaget, dan kembali duduk di kursinya dengan tenang. Dia segera memakaikan sabuk pengaman pada adiknya dahulu. Yang awalnya tidak mau, tapi dia tetap paksa. Siapa juga yang memakai sabuk pengaman di kursi belakang kan?
"MA! Apaan sih?" papanya ikut berteriak.
"Kenapa? Biasanya mama terima telpon gapapa?" tanya mamanya juga meninggikan suara.
"Kan sudah dibilang bukan hal penting." jawab papanya.
Felicia sudah siap ikut menjerit marah, tapi mulutnya dibungkam Felix. Kemudian kakaknya itu mencari handset, untuk dipakaikan di telinga adiknya. Dia menyetel Youtube video anak-anak dengan volume yang cukup untuk memblokir suara dan mengalihkan perhatain dari pertengkaran orangtua.
"Pasti anak magang yang cantik itu ya?" mamanya berkata tajam.
"Ma. Stop. Ada anak-anak." jawab papanya pelan. Tapi jelas masih terdengar oleh Felix, karena suasana mobil yang sepi. Kalau saja Felix bisa mengakses radio, dan menyetel lagu dangdut tadi..
"Malu kan?" tanya mamanya.
"Ma. Sudah, kita bahas nanti di rumah aja ya." kata papa sambil mencoba mengelus kepala mama. Yang jelas saja langsung ditepis.
Felix makin gelisah, karena mereka tidak juga sampai di tempat tujuan. Jalanan semakin terjal, dan tidak ada mobil-mobil lain yang melintas. Mungkin hanya bisa terhitung satu-dua. Dia melihat jurang yang curam di kanannya, dan bergidik ngeri. Tapi dia terlalu takut untuk ikut berbicara.
Saat itu dering telfon berbunyi untuk ketiga kalinya. Mama mencoba merebut hp papa yang berada di kanan itu. Tapi papa justru membanting setirnya ke kiri. Entah kaget, atau bagaimana. Sontak mamanya berteriak memanggil papa. Tapi yang dipanggil juga sudah tidak punya kendali atas mobilnya. Dia berusaha mengendalikan mobil terus berguling.
Felix membuka matanya pelan. Menahan pusing yang langsung menghantam kepalanya. Dia hanya berhasil membuka matanya setengah. Suara dengungan keras memekakan telinganya. Disusul dengan suara tiiiittt... yang tidak berhenti.
Felix baru merasakan badannya, dan berusaha mencerna apa yang terjadi. Kabut asap yang sangat tebal. Mobil besar warna merah, mobil besar warna putih, suara sirine. Seseorang melihatinya, mengucapkan sesuatu yang tidak bisa dia tangkap, karena telinganya masih berdengung. Hanya suara-suara besar yang dia bisa tangkap. Dia tahu sekelilingnya sedang ramai.
"Feli.." ucap Felix akhirnya, setelah menemukan suaranya. Suster yang sedari tadi melihatinya, menanyakan apakah dia merasakan sesuatu. "Feli..mama..papa.." sebutnya lagi mengabsen keluarganya. Bukannya menjawab, suster itu menyuruhnya berbading tapi dia tidak mau.
"FELII.. MAMAA.. PAPA.." ucapnya lagi kali ini kali ini lebih keras. Hingga beberapa orang disekiranya menoleh. Tapi masih tidak ada yang menjawabnya. Felix mulai mengangis.
"Felii..mama..papa.." kata-kata Felix mulai lemah. Dia melihat suster menyuntikan sesuatu ke tangannya, kemudian membaringkan dia ke matras nya kembali.
Felix mengingat satu nama lagi sebelum tertidur. Nama yang muncul di hp papanya saat kecelakaan itu terjadi. Rita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under The Same Roof
ChickLitSo, here we go again I kiss that girl again And suddenly it must come to an end -Ardhito Bella berusaha untuk keluar dari rumah itu agar hidupnya terasa lebih tenang selama tinggal di London. Tapi uang saja tidak punya. Sehingga dia terpaksa tinggal...