-VII-

32 2 0
                                    

Bahaya.. bahaya.. Felix merapal berkali-kali saat Bella menciumnya malam itu. Astaga, dia bukannya seorang lugu yang tidak berpengalaman. Yah dia memang tidak berpengalaman sih. Tapi dia jelas tahu kalau itu bahaya. Mengingat kejadian itu, membuatnya antara mau senyum tapi juga merinding. Pagi setelah itu, Bella terlihat santai-santai saja, walaupun akhirnya dia lebih sering membuang muka seperti saat pertama bertemu dulu. Mungkin dia marah?

Sekarang, hari-hari sudah berlangsung seperti biasa. Akhir pekan berakhir, begitu juga kejadian di rumahnya hari Sabtu. Felix menuruni tangga menuju kantor. Katanya seorang pelanggan komplain, karena paketnya belum juga sampai, padahal sudah sebulan. Harusnya hal ini menjadi tanggung jawab Sophie sebagai supervisor. Tapi apa daya wanita itu tiba-tiba sakit, dan ijin tidak masuk. Musim dingin seperti ini memang akan banyak orang yang sakit, apalagi kemarin hujan sangat deras. Jujur saja Felix juga merasa kurang enak badan. Tapi dia sudah minum obat, vitamin, serta mengoleskan balsem di area yang butuh kehangatan.

"Coba cek lagi, alamat yang ditulis. Apakah sudah benar?" tanya Felix dengan sabar.

"Tentu saja! Kalian saja yang masih belum mengirim barang saya. Saya hanya mau mengambil barang itu, untuk saya kirim dengan jasa lain yang lebih bagus!!" hajar orang itu.

"Kalau barang itu dikirim dari bulan lalu, kita sudah tidak mempunyainya lagi." kata Felix. Dia lalu menerima slip yang berisi detail alamat pengiriman orang tersebut. Dia melihat sekilas, lalu memberikan slip itu padanya. "Apakah semua informasinya sudah benar? Akan saya check langsung pada ekspedisi kami."

Pelanggan itu membaca dengan keras alamat yang dituju, bermaksud untuk menginggung Felix dan karyawan lain. Tapi kemudian dia berhenti saat menyebut nomor alamatnya. "Ini seharusnya bukan 37, tapi 57. Kenapa bisa salah??!" hajarnya lagi.

"Oh, maaf. Tapi seharusnya anda sendiri yang mengetik itu di sana kan?" tanya Felix sambil menunjuk salah satu kounter, tempat pengisian informasi pengiriman. Seperti yang dipegang pelanggan tersebut.

"Ya sudah." kata orang itu lalu hendak berlalu pergi.

"Tunggu, pak. Slipnya bisa di fotokopi dulu sebelum di bawa. Untuk bukti kami." ujar Felix lagi. Orang itu hanya memberikan slip itu, lalu keluar kantor dengan masih menggerutu. Felix hanya menghela napas. Dia melihat orang-orang disekeliling ada yang melihatinya, jadi dia tersenyum sekilas lalu naik ke kantornya. Tapi sebelum dia naik, sekilas dia melihat Bella menatapnya berapa detik lalu membuang muka lagi. Okay..

Sepulang kantor, Felix menunggu Bella untuk selesai siap-siap. Entah kenapa, perempuan selalu lama kalau mau kemana-mana. Jadi daripada menunggu di depan seperti biasa. Dia ikut masuk ke ruang locker. Yah bukannya bisa masuk juga. Secara mungkin saja ada yang ganti baju di sana. Tapi mungkin kalau dia berada lebih dekat, Bella akan merasa sungkan dan keluar lebih cepat. Setelah dia melihat staff lain pulang satu per satu, dia yakin Bella sendirian di ruang loker.

Oke, sekarang aku ngecek hanya karena takut ada apa-apa. Kata Felix dalam hati. Jadi dia mengintip perlahan. Bukannya harusnya dipanggil saja sudah cukup? Entah, dia maunya lihat. Bukan karna mesum!

Tapi yang dilihatnya justru Bella lagi menepuk-nepuk pipinya sendiri sambil bercermin. Felix bingung harus berbuat apa. Jelas dia tidak mungkin menyodorkan bantuan menampar. Atau langsung mengagetkan Bella agar berhenti menampari diri sendiri. Jadi dia hanya diam mengamati. Setelah puas menampari wajah, kini Bella malah menjedotkan kepalanya ke cermin. Tidak keras memang, tapi tetap saja.

"Hey," panggil Felix pelan. Bella terkejut dan langsung menoleh. "Ayo pulang." panggilnya lagi.

Bella mengambil tasnya yang ternyata sudah siap digantung di lokernya. Dia berjalan melewati Felix sambil tersenyum bodoh. Tapi Felix justru memperhatikan pipinya yang agak merah. Tanpa berpikir lebih jauh, Felix menarik tangan Bella, hingga membuat anak itu berhenti jalan. Felix menaruh telapak tangannya yang dingin di kedua pipi Bella. Lama hingga tanganya mulai terasa hangat.

Felix meniup udara, dan melihat asap keluar dari mulutnya, seperti orang merokok. Seandainya dia tidak takut asap, dia sudah pasti merokok juga. Hidungnya juga pasti sudah merah. Felix melepas gandengan tangannya dan membukakan pintu mobil untuk Bella. Begitu masuk, dia langsung menyalakan mesin dan pemanas. Bella masih belum bicara apa-apa dari tadi. Padahal biasanya dia lebih cerewet.

"Kamu gapapa? Sakit?" tanya Felix khawatir. Yang ditanya hanya menggelengkan kepala. Disaat itu, Felix langsung bersin dan mengambil tissue. Sepertinya dia yang sakit. Dia mengosok hidungnya agak kasar, menghilangkan rasa gatal.

"Aku masakin rissoto ya nanti." kata Bella setelah akhirnya mobil dijalankan. Felix mengangguk setuju.

-----------------------------------------------------------
Add this story to your library, vote, share, comment and follow me. 😽

Under The Same RoofTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang