-VIII-

34 2 0
                                    

Setelah kejadian Felix sakit beberapa hari yang lalu. Bella jadi lebih perhatian dan lembut kepada cowok itu. Padahal sakitnya juga hanya sehari, tapi Bella entah kenapa merasa sangat sedih. Ah, dia memang sensitif. Hal itu ditanggapi Felix dengan santai dan riang. Karena selama sakit, menurut pandangan Bella, dia senyam-senyum saja.

Weekend ini seperti sebelumnya, kali ini Felix memilih tempat yang akan dikunjungi. Dan dia memilih London Eye. Yang sangat disetujui oleh Bella. Hari ini Bella dijadikan objek fotonya. Serasa model, Bella sok-sokan tidak melihat kamera agar mendapat kesan candid. Tapi ada juga foto dimana dia menatap tajam ke kamera.

"Mau churos!" pekik Bella seperti anak kecil saat melihat stand jajan. Mereka pun membeli churos, lalu kemudian berjalan-jalan dengan santai menuju wahana ferris-wheel. Felix mengulur waktu dengan sengaja sambil menunggu hingga sunset. Kalau musim panas, pasti banyak badut-badut tinggi yang atraksi sepanjang dek. Tapi mereka cukup terhibur juga dengan pengamen jalanan yang skill nya patut dipertimbangkan.

Setelah mengantri cukup panjang. Mereka akhirnya mendapat giliran untuk naik. Tepat saat matahari mencium khatulistiwa. Bella ber-aw-ria sambil mengagumi kota London, sedang Felix sibuk mengabadikannya.

"Cantik ya." komen Felix tiba-tiba.

"Iya, sampe mau nangis aku." jawab Bella. Dia menoleh dan mendapati Felix sudah fokus ke dirinya. Tiba-tiba dia flashback pada dirinya yang mencium cowok didepannya ini beberapa hari yang lalu. Wajahnya langsung memanas padahal angin sedang bertiup kencang di atas sana.

Felix tiba-tiba memutar badannya mengarah kepada Bella secara penuh. Dia hanya bisa melihat pergerakan itu dengan kaku. Apa dia juga harus melakukan hal yang sama? Tapi Bella tetap diam di tempat, tidak bergerak sama sekali. Badannya kaku, mungkin karna jaket tebalnya tidak mampu menghalau seluruh dinginnya angin yang masuk. Dia menjilat bibirnya sekilas yang terasa kering. Apa dia harus memalingkan wajah sekarang? Tapi dia merasa tidak bisa. Jadi dia hanya memejamkan matanya, saat melihat Felix melakukan gerakan lain. Apa akan terjadi lagi? 1..2..3.. detik menunggu. Bella merasakan usapan lembut di kepalanya. Felix hanya menariknya bersandar pada dadanya, sambil mengusap lengannya. Dia akhirnya membuka mata, untuk kembali melihat London yang mulai gelap, karena mataharinya tenggelam. Tetapi kemudian digantikan lampu-lampu yang terlihat berkelip-kelip seperti bintang dari sudut pandangnya. Apa mereka setinggi itu? Mereka berada di pucak tertinggi London Eye. Mereka melihat London dengan mata London itu sendiri. Bella tersenyum dengan kalimat yang ada di kepalanya sendiri. "Wacthing London in London Eye, berarti dia sedang bercermin?"

Debaran jantung Felix terdengar mulai stabil di telinga Bella. Dia mulai meletakan tangannya melingkar pada perut Felix, yang dinilainya sangat pas. Tidak gendut, tidak kurus. Sweaternya juga hangat, dengan heating pack yang tersemat di coatnya. Selama beberapa menit mereka hanya diam, hingga capsule-nya berhenti berputar, dan pintu terbuka.

-M-

Bella sedang berusaha membuat kepangan di rambut Felix yang tentu saja tidak berhasil. Selain karna kurang panjang, rambutnya juga terlalu lembut. Kalau berhasilpun kepangannya hanya berukuran sangat kecil, hingga dia tidak puas. Dia melepas kepangannya, dan kembali mengacak rambut Felix yang berada di pangkuannya. Cowok itu meringis sedikit, mungkin karna tidak sengaja kejambak.

"Diapain sih aku?" tanya Felix sambil memegangi kepalanya.

"Gak kok." tawa Bella. Dia ikut mengelus kepala yang baru disakiti itu. Mereka sedang nonton serial polisi-polisian yang tidak Bella mengerti. Pokoknya kalau ada darah-darah atau sesuatu yang seram, dia kan langsung tutup mata.

"Bosen ya?" tanya Felix mengerti.

Bella mengangguk jujur, tapi tersenyum. "Tapi kalo kamu mau nonton, gapapa." jawabnya.

Felix justru bangun untuk mengambil padnya dan mematikan serial yang mereka -dia tonton. "Kita ngobrol aja." usulnya.

"Kamu dari kapan tinggal di London?" tanya Bella memulai.

"Gak lama sebelum kamu pindah. Mungkin empat bulanan." jawabnya.

"Kamu gak keberatan waktu aku disini?" tanya Bella lagi.

Felix tersenyum, "Kenapa baru tanya sekarang?"

"Aku mau sok-sokan pindah kan, tapi aku ga punya uang." jawabnya malu.

"Gak keberatan kok. Lumayan juga ada yang masakin, cuciin baju." jawab Felix.

"Wah, berarti aku dijadiin pembantu? Aku minta gaji!" kata Bella pura-pura marah.

"Gajimu buat bayar biaya sewa." jawab Felix santai, sambil mengelus rambut Bella yang ikal.

"Kamu dibilangin waktu aku mau dateng ke sini?" tanya Bella.

Felix hanya menjawab dengan anggukan kepala.

"Aku baru dibilangin waktu sudah sampai sini. Plus, aku pikir roommate ku cewek." adu Bella.

"Aku juga mikir kalau sepupu yang dimaksud itu laki-laki." kata Felix sependapat.

Bella terdiam. "Kita sepupu?"

"Well, technically. My dad married your aunt. That makes you my cousin."

Samar-samar Bella ingat, Tante Rita dan Om Jeremy pernah cerita tentang anak pertama Om, waktu Bella masih SMA. Dia tidak ingat betul, secara waktu itu dia cuma nguping.

Yang dia ingat "Anaknya itu sudah mandiri di Jakarta sejak ibunya meninggal saat dia SMP." Lalu waktu itu sedang kuliah di Singapore, "Sudah mau lulus," katanya. Setelah menikah, Om dan Tante memutuskan akan tinggal di Singapore untuk menemani anak itu, bagaimanapun anak kan butuh orangtua. Sudah, sampai itu saja yang Bella tahu. Felix anak Om Jer..

"Hm. Trus emang kita boleh kayak gini?" tanya Bella lagi.

"Kayak gini, gimana?"

"Kayak gini." Bella menunjuk tangan Felix yang mengelus dengkulnya.

Under The Same RoofTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang