7- Jamuan Minum Teh

12 1 0
                                    

--7--


Petang telah tiba saat Mutia menatap di balik tirai jendela. Mutia kini mendapati dirinya telah merasa segar setelah beristirahat cukup di kamar baru di kediaman ini.

Mutia memegang perutnya yang mulai meminta diisi. Sudah dari siang tadi dia belum makan apapun. Mutia beranjak pergi keluar kamar.

Mutia menengok kanan-kiri mencoba mencari orang untuk bertanya, namun tidak ada siapapun. Akhirnya dia akan mencoba mencari sendiri.
Tepat dibelokan rumah menuju lorong lain Mutia berpapasan dengan seorang lelaki paruh baya yang mungkin sedikit lebih tua dari Paman Lee. Paman itu berpakaian santai walaupun tetap terlihat mewah.

“Ayah nona Thaliakah?” Mutia bertanya dalam hati.

Mutia sedikit membungkukkan badannya segera mengucapkan salam. “Selamat Malam, Tuan.”

Paman itu hanya mengangguk sekilas sambil tetap menatap Mutia.

“Tuan, saya ingin bertanya. Dimanakah saya bisa menemukan dapur di rumah ini? Saya ingin membantu menyiapkan makan malam.”

“Apakah kau pelayan baru?”

Mutia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Eh itu—“

Paman itu menunjukkan salah satu sisi ruangan yang akan Mutia tuju tadi. “Di sebelah sana.”

Mutia membungkukkan badan berterimakasih kemudian berjalan pergi. Paman itu menatap kepergian Mutia dalam diam walaupun akhirnya dia kembali melanjutkan langkahnya.

---

Mutia mengikuti arah yang tadi ditujukan paman tadi. Benar saja, di depan sana ada sebuah ruangan yang cukup ramai oleh beberapa pelayan rumah. Tanpa ragu Mutia akhirnya memasukinya.

“Bibi, adakah yang bisa saya bantu disini?” Mutia bertanya pada seorang bibi yang sedang menanak nasi.

Bibi itu menatap Mutia tanpa menghentikan aktivitasnya. “Kau pelayan baru?” tanyanya. “Hm— Kau bisa membuat sup?”

Mutia mengangguk. “Saya cukup bisa membuat itu.”

“Itu bagus. Kalau begitu, kau bisa membuatnya sekarang.” Ucap Bibi itu.

Mutia mengangguk senang dan memulai mengiris beberapa daging yang tersedia. Sesekali dia bertanya beberapa bahan yang tidak dapat ditemukannya. Bibi itu walau giat, tetapi cukup ramah sehingga Mutia terlibat beberapa obrolan ringan dengannya.

Dari penuturan bibi Nani—setelah Mutia tahu namanya— dia berkata bahwa keluarga ini menyukai memakan makanan yang hangat. Jadi, satu jam sebelum jam makan, para pelayan baru bersiap-siap membuat masakan dan akhirnya masakan itu disajikan selagi hangat.

“Saya pun seperti itu dulu saat di rumah. Entah mengapa makanan hangat lebih membangkitkan selera daripada memakan makanan yang sudah mendingin,” kata Mutia berkomentar.

Supnya kini sudah hampir matang. Aromanya kembali membuat perut Mutia keroncongan.

“Bibi, supnya sudah matang,” kata Mutia memberitahu.

“Benarkah?” Bibi Nani yang kini sedang membuat masakan lain mendekati Mutia. Dia mengambil alih sendok adukan dan menyendokkan kaldu supnya sedikit.

“Bagaimana?” Mutia bertanya.

Bibi itu tampak berpikir. “Ini lezat. Aroma kaldunya pun terasa harum.”

Mutia tersenyum lega mendengar itu. “Seledri memiliki aroma yang enak, jadi saya menambah seledri lebih banyak di supnya. Syukurlah jika itu enak, bi.”

LADY MUTIARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang