6- Usaha untuk Sebuah Mimpi

13 1 0
                                    


"Mimpi akan tetap menjadi mimpi jika seseorang tidak berusaha untuk mencapainya. Usaha itulah yang membuat keputusan apakah mimpi itu akan berubah menjadi nyata atau hanya basi ditelan masa."

--6--

“Jadi, ada apa?”

Mereka berdua berdiri di halaman depan kedai penginapan setelah menyelesaikan permasalahan kecil sebelumnya. Keadaan lelaki kepiting rebus kini sudah mulai membaik. Walaupun sebelumnya dia masih keras kepala untuk menerima ramuan obat dari Mutia yang dalam pandangannya adalah orang asing.

“Apa kau berniat meracuniku?” Kepiting rebus itu mencurigai cangkir ramuan yang dipegangnya.

Mutia mengangkat dua jarinya meyakinkan. “Saya bahkan dapat bertaruh dengan hidup saya bahwa itu bukan racun, tuan. Minumlah, tuan. Saya rasa anda akan merasa lebih baik.”

Walaupun masih menunjukkan wajah curiga, akhirnya lelaki itu mau menelan ramuan obat itu. Dan benar, beberapa waktu setelahnya rasa sakit yang sebelumnya menderanya mulai menghilang. Melihat itu, lelaki berikat kepala putih menghembuskan napas lega dan meminta Mutia untuk ikut dengannya. Dan kinilah dimana mereka berada.

“Sekarang kau bisa katakan apa urusanmu.” Sagara mengulangi maksudnya.

“Hn, jadi—“ Mutia bingung akan memulai dari mana.

“Jadi apa?”

“Jadi, Sebelumnya anda ‘kan pergi ke gerai saya. Beberapa orang datang menjemput anda dengan terburu-buru, tetapi sepertinya anda lupa akan sesuatu. Um—“

“Melupakan sesuatu? Sesuatu seperti apa?”

“Ummm itu—“

“Oh!” lelaki itu akhirnya mengingat.

“Aku lupa. Astaga, aku benar-benar lupa! Maafkan aku.” Lelaki itu tampak merasa bersalah. “Aku benar-benar gelisah waktu itu, kukira hal yang buruk telah terjadi, jadi aku bersegera pergi sampai aku lupa untuk membayarmu.”

“Syukurlah dia ingat.” Mutia mendesah dalam hati.

“Jadi, berapa yang harus kubayar?” Lelaki itu akhirnya bertanya.

“Mmm… sepertinya tidak usah, tuan.” Mutia menggeleng.

“Bagaimana mungkin bisa begitu.” Lelaki itu tampak tidak setuju.

Mutia sedikit ragu untuk mengatakannya, namun setelah berpikir sejenak akhirnya dia berbicara, “awalnya memang saya mengikuti anda untuk meminta bayaran atas kotak keju yang anda ambil, karena saya mengira anda adalah pencuri dengan modus terburu-buru pergi seperti itu. Tetapi setelah mengetahui bahwa anda adalah salahsatu rombongan orang kota, akhirnya saya mengurungkan niat saya dan ingin kembali lagi ke festival, namun anda malah memanggil saya dan membuat saya menyaksikan pemandangan yang membuat saya tertawa. Jadi, sekarang saya sepertinya sudah melupakan tujuan awal mengikuti anda.”

Lelaki itu terkekeh mendengarnya. “Tetapi tetap saja aku harus membayar kotak kejumu itu. Juga dengan pengobatanmu tadi,” kata lelaki itu. “Apa kau seorang tabib?”

“Tabib?”

“Iya, tabib. Seseorang yang bertugas membantu menyembuhkan penyakit orang lain dan memberikan ramuan obat untuk membuat orang-orang yang sakit merasa lebih baik.” Lelaki itu menjelaskan.

“Mmm.. sepertinya tidak ada yang seperti itu disini,” Mutia menggeleng.

“Jika ada orang desa yang sakit, biasanya paman Lee datang membantu dan kemudian membuat ramuannya dengan bantuan ibu saya. Tetapi, mereka tidak pernah menyebut dirinya sebagai tabib.”

LADY MUTIARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang