2- Badai Pasti Berlalu

18 1 0
                                    


"Badai pasti berlalu"

"Badai pasti berlalu, tetapi Mutia tidak tahu bahwa ternyata badai besar telah berkecamuk dalam dirinya dan badai itu tidak akan berlalu sebelum dia menghentikannya sendiri."

--2--

“Ibu, aku tidak akan pergi.”

Mutia yang sedang mengupas jeruk tiba-tiba berbicara pada ibunya.  Pagi ini dia sudah memutuskan untuk tidak ikut pergi ke kota, walaupun tampaknya berat.

Ibunya yang sedang mencuci piring bekas sarapan terdiam sejenak mendengar itu.

Dia menghentikan aktivitasnya dan menatap heran Mutia yang duduk di salah satu kursi meja makan.

“Kenapa? Bukankah kau ingin pergi Mutia? Perlengkapanmu pun sudah disiapkan."

Mutia tidak menjawab dan hanya menundukkan kepala.

Ibunya menghembuskan napas lelah. Melihat putrinya semalam menyiapkan semua pakaian dan keperluan yang perlu dibawa, dia yakin bahwa putrinya ini ingin pergi. Sekarang di hari keberangkatan, dia juga tahu putrinya mengatakan itu karena masih dilema. Dan alasan utamanya adalah dirinya. Dia tahu.

Setelah mencuci tangan, ibu ikut duduk di samping Mutia yang masih menundukkan kepala.

“Kau mengkhawatirkan ibu? Bukankah ibu sudah bilang bahwa Ibu akan baik-baik saja? Haruskah ibu mengatakannya seratus kali agar kau pergi?”

Mutia mengangkat kepalanya dan menatap ibunya dengan mata berkaca.

“Mengapa Ibu seperti mengusir Mutia. Mutia tidak akan pergi. Muti akan—“

“Mutia, dengarkan Ibu!”

Mendengar nada ibunya yang sedikit tinggi membuat Mutia menatapnya tidak percaya dan menghentikan ucapannya.

“Ibu tahu dalam hatimu kau ingin pergi. Ibu tahu kau, Muti. Karena kau adalah putri ibu. Maka dari itu, Jangan cemaskan ibu. Disini banyak orang-orang yang akan membantu ibu. Paman Lee akan selalu datang membantu juga orang-orang desa lainnya. Kau tahu, mereka semua orang yang baik. Semuanya akan baik-baik saja walaupun kau pergi. Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Maka Pergilah, nak! Temukan impianmu.”

Mutia terhenyak.
Ibunya benar. Kesempatan seperti ini tidak akan mungkin datang dua kali. Kalaupun mungkin, dia sendiri tidak tahu kapan akan datangnya.
Desanya bukan desa yang begitu terkenal sehingga jarang sekali bagi para pengembara singgah disini.

Dan ketika kesempatan emas datang, Mutia malah dilema. Dia tidak tega meninggalkan ibunya mengurus lumbung mereka sendirian. Namun disisi lain, Mutia ingin pergi mengambil kesempatan yang berbaik hati padanya.

Namun, ibunya juga kini mendukung kepergiannya dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Jadi, apakah dia harus pergi?

“Ibu yakin?” 

Ibunya mengangguk yakin. "Ya, nak."

Mutia tampak ragu. Memilih salah satu dari keduanya sama saja seperti dia menentukan pilihan apakah dia ingin menanggung rindu atau menanggung penyesalan.

Namun, Bukankah memang segala sesuatu itu memiliki resiko masing-masing?

“Bagaimana?”

Mutia akhirnya mengangguk lemah.
Dia kemudian memeluk ibunya erat. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah jauh dari ibunya. Setelah pergi nanti, Mutia pasti akan merindukannya.

LADY MUTIARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang