Untuk Andromeda

11.9K 1.3K 259
                                    

Terkadang apa yang kamu anggap sebagai rumah,
justru rasanya asing untuk kamu singgahi,
justru tidak tahu sama sekali tentang apa yang kamu sukai,

Terkadang apa yang kamu anggap sebagai rumah,
bukan sebenar-benarnya tempat untuk pulang.

DEVA

"Apa sih rasanya punya keluarga yang harmonis?"

Gue tersenyum pahit.

"Gimana sih rasanya punya rumah yang kecil namun selalu hangat?"

Bukan tentang bangunan kokoh dan megah namun hampa kebahagiaan.

"Apa ya rasanya bisa dibanggakan sama seorang Ayah?"

Bukan tentang tamparan dan makian yang selalu gue terima setiap gue melakukan kegagalan dan kesalahan dalam hidup. Seakan gue harus terus sempurna dan sempurna.

Capek. Capek banget.

Pertanyaan-pertanyaan yang semakin memberatkan kepala, terlintas begitu saja dalam benak gue kala ojek online mengantar gue menuju rumah. Rasa cemas dan takut seketika menjalar ke seluruh tubuh.

Udara malam ini dingin, bahkan sangat dingin.

Namun angin malam yang berhembus bukan membuat gue sejuk dan menggigil, namun malah mengundang keringat dingin gue yang terus mengular sampai ke leher.

Apalagi dengan keadaan Kupi yang masih terparkir rapi di parkiran Sedati Rama. Apa yang akan Papah lakuin ke gue malem ini?

Apakah gue akan hancur lagi?

Gue laki-laki, harus berani terima konsekuensi, meskipun malem ini mungkin gue bakal sampe lebam dan berdarah lagi.

"Jadi berapa Mas?" gue sibuk mengambil uang di saku seragam gue. Terlalu menyelip, jadi agak susah.

"Oh..." Mas-mas driver-nya justru menunjukkan ponselnya ke gue terus bilang, "Tadi udah pakai gopaynya Bu Astri,"

"Oalah udah dibayarin Bunda," gue mengangguk, "Ya udah makasih ya Mas."

Di hadapan gue udah saat ini, berdiri kokoh gerbang kayu yang berwarna cokelat tua. Biasanya kalau naik motor tinggal klakson terus Bibi bakal samperin dan bantuin buat buka pagarnya. Tapi sekarang, karena sampai saat ini gue belum dikasih kepercayaan walau hanya sekadar megang kunci pagar. Gue harus membunyikan lonceng yang memang bunyinya akan terdengar sampai ke dalam.

See? udah kayak tamu aja kan gue di rumah sendiri.

HAHAHAHA.

Peluh keringat dan tawa yang luruh, entah menertawakan hidup yang selalu membercandakan gue, atau menertawakan diri gue sendiri yang belum cukup tangguh menerima hidup.

Tuhkan yang dateng bukannya Bibi tapi langsung Praya!

Mampus dah gue kalo kayak begini.

Skakmat di awal.

Duh harus apa nih gue.

Degup jantung gue semakin nggak karuan, semakin langkah Praya mendekat, keringat dingin gue justru semakin deras. Apalagi saat tatapannya menatap gue aneh karena nggak ada Kupi di samping gue.

"Bibi kemana emang Mas?" tanya gue basa-basi selagi dia ngebukain pintu gerbangnya. Iya gak penting banget emang. Tapi yaudah sih, anggep aja buat mengurangi ketegangan.

*PLAKKK!*

Bukannya ngejawab pertanyaan, malah langsung ditampar dong gue

"Tau kenapa Papah belum juga kasih kepercayaan ke elo?" dia tersenyum jahat, kayaknya abis nge-gym soalnya masih keringetan juga, sama kayak gue. Apa berantem aja nih sekalian?

Kapal KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang