Terperangkap

4.4K 349 27
                                    

Kamu hanya perlu mendengar hatimu berbicara, karena tidak semua logika bisa masuk ke dalamnya.

-----

Debur ombak di pantai biru yang terhampar di bawah balkon Villa berlantai dua, cahaya senja yang temaram, kulit Mike yang kecokelatan, mata birunya yang terang, dadanya yang bidang, senyumnya yang menghanyutkan, tingginya yang menjulang, mana di antara itu semua yang menjadi celah untukku bisa melakukan penolakan? Pernikahanku yang berantakan, suami yang sering menghilang tanpa kabar, kehadiran istri siri yang menuntut dinikahi secara resmi, janin di perut wanita lain, atau malah debar jantung yang tak terkendali sehingga membuat hatiku lemah bagai istana pasir?

Bila sudah kuminta padanya, jangan menggangguku, tetapi ia tetap saja menatap penuh harap, bukankah itu hanya seperti melihat cerminan diriku yang menanti di luar pintu hati untuk mengemis cinta yang terlanjur diberikan kepada orang lain?

Mike sepertiku. Cerminan diriku. Berdiri tanpa ragu di luar pintu. Menunggu pemilik hati membukanya dan mempersilahkan masuk dengan keikhlasan. Membuat kesan-kesan terbaik untuk bisa menarik pujaan, tak peduli diabaikan.

“Datang padaku saat engkau lelah. Aku siap jadi nakhoda untukmu. Berhenti berjuang sendiri, berhenti merasa baik-baik saja, berhenti berpura-pura kuat, berhenti menutup mata untuk semua luka. You deserve the best.”

Putriku di gendongan tangan kanannya menggeliat manja. Mike segera menepuk-nepuk punggungnya hingga Hawa kembali lelap dengan kenyamanan yang menyilaukan. Melihat itu, perasaanku sangat terpengaruh. Jika Hawa, gadis kecil kesayangan suamiku itu bisa berlabuh dengan nyaman di lengannya, mengapa aku tak bisa melakukan hal yang sama? Apa yang membatasi kami selain norma? Di sini kami bebas. Bukankah Caca juga terus berpesan agar aku menikmati liburanku yang hanya dua hari? Bolehkah? Bolehkah aku berlibur sebagai istri, dua hari saja? Aku berharap saat ini menjadi gadis lugu yang ditemukan Mike di antara serakan sampah untuk ia daur ulang.

Mike masih menatapku dengan tatapan rindu. 

Sejak kapan mata itu menghipnotisku?

“Bunda!” Adam datang menyusul bersama pengasuhnya. Memelukku hangat. Putraku yang sebentar lagi berulang tahun keempat datang sebagai penyelamat. Wajah kecil Mas Danu melekat di wajahnya. Menyadarkanku tentang hakikat kodrat. Aku seorang ibu sekarang, bukan wanita lajang yang bebas memilih cinta untuk bersandar.  Aku sendiri adalah sandaran. Aku harus tetap sekuat baja, meski untuk itu harus pura-pura bahagia.

“Bunda sudah kenal sama Om Super, ya?” celetuk Adam.

“Om Super? Kenapa Adam sebut Om Mike begitu?”

Adam menoleh ke Mike. “Dia bilang namanya Supermen, Bunda. Aku dan Hawa tadi bandulan di lengannya. Dia kuat sekali, Bunda. Enggak jatuh.” Adam memandang tubuh kokoh Mike dengan sorot kagum.

Jadi mereka sudah berinteraksi. Jadi Mike sudah mendekati anak-anakku. Mengapa begitu kentara bahwa ia menaruh rasa? Bukankah seharusnya ia berhati-hati agar tidak diketahui orang lain? Atau ....

“Mbak, bawa Adam dulu, ya. Bajunya kotor, gantilah dengan yang bersih. Boleh bermain di pinggir pantai, tapi jangan bermain dekat ombak. Hindari risiko sebelum risiko itu menjadi bencana,” pesanku pada pengasuh Adam.

“Baik, Nyonya. Bagaimana dengan neng Hawa?” ia melihat Hawa yang terlelap di gendongan Mike.

“Gapapa, biar di sini bersamaku. Nia (pengasuh Hawa) sedang makan. Dari tadi belum sempat karena Hawa terus merengek. Mbak juga jangan lupa makan ya? Makanlah bersama Adam.”

Pengasuh itu mengerti dan undur diri. Ada hal yang ingin kuklarifikasi pada pria di hadapanku ini.

“Katakan padaku, Mister. Mengapa Anda lakukan ini? Apakah Anda punya misi?” Sekelebat dugaan yang sempat menggelayuti kini menguat kembali. Mungkinkan Mike mengemban misi khusus dari bapak mertua?

“Misi? Semua orang punya misi untuk mencapai visinya. Mau tahu misiku?”

Aku menggeleng. “Tidak, bukan misi Anda! Apakah Anda diperintahkan seseorang untuk menggoyahkan pernikahanku?”

Mike tertawa. “Jadi aku sudah berhasil menggoyahkan perasaanmu? Yes, I’m succes!

“Tolong jangan bercanda! Aku sungguh serius.” Jika benar ia ditugaskan sebagai penggoda agar aku melepaskan Mas Danu, akan kupastikan itu tak akan berhasil.

Ia selangkah mendekat hingga aroma tubuhnya tercium kuat. Kembali debur di dadaku membuatku bergetar. “Aku juga serius, Laras. Kadang kesempatan hanya datang sekali. Bagaimana jika kesempatan itu lari? Apakah kau akan menangisi keputusanmu nanti? Aku bisa saja menghilang dari hadapanmu seperti angin, tetapi saat itu kau akan merindukanku.” Mike terus mendekat. “Aku tak ingin kau menyesal karena kehilangan orang sepertiku.”

Aku mundur selangkah demi selangkah, tak ingin goyah. “Jangan bermain kata denganku. Aku bukanlah wanita cerdas yang bisa mencerna setiap ucapanmu.” Karena sikapnya yang kurang ajar, aku pun lupa berkata sopan kepadanya.

Lagi-lagi Mike tersenyum tampan. “Sekalipun kamu bodoh, kamu pasti bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bukan?” Mike menghentikan langkahnya yang terus mendesakku ke belakang. Kini tak ada space bagiku untuk mundur lagi.

Apa yang baik, apa yang buruk? Sekali lagi, aku gagal mengerti.

“Aku tidak pada posisi bisa memilih, Mister. Tolong jangan mendorongku terlalu jauh!” Sejujurnya, aku tidak sedang mengatakan hal-hal kiasan. Aku sedang mengatakan kebenaran. Kami berada di balkon lantai dua yang menghadap pantai. Jika dia terus maju, aku takut terdesak ke belakang dan akhirnya terjungkal. Bagaimana jika orang melihat kami berdua seperti ini? Tinggal beberapa jengkal dan kepalaku akan bersentuhan dengan dadanya yang lapang.

Buru-buru aku menghindar, melangkah pergi. Menyudahi percakapan yang lebih banyak menguras emosi dan energi.

“Laras!” Mike memanggil keras.

Aku berhenti melangkah. Dengan dada berdebar-debar, tak berani menoleh walau hanya satu derajat saja. Aduh bagaimana ini? Sekalipun kemungkinan besar ini skenario mertuaku, tapi efeknya bukan setingan. Aku sungguh tergoda. Semua padanya teramat memesona. Bagaimana jika aku benar-benar menyukainya lalu berulang merindukannya? Bagaimana jika kehadirannya meruntuhkan pertahananku untuk setia pada ikatan suci yang telah terbina?

Mike melangkah menghampiri. Semakin dekat langkahnya, semakin keras debar jantungku. “Putrimu!” Mike menyorongkan tubuh Hawa.

Ya Tuhan, ibu macam apa aku sampai lupa pada anak sendiri dan hampir saja meninggalkannya dengan pria asing?

Kujulurkan tangan yang masih gemetaran untuk menyambut tubuh Hawa. Tiba-tiba, Mike menahan tubuh Hawa dan menarik tubuh mungil itu kembali ke dalam pelukannya.

“Biar kugendong saja. Mana kamarnya?”

“Tidak, aku saja!” menolak sambil berusaha meraihnya kembali.

“Kamu yakin? Kamu terlihat grogi?” Lagi-lagi Mike mendekatkan kepalanya untuk berbisik ke telingaku. “Tanganmu gemetar. Apakah kamu memikirkan hal yang bukan-bukan?”

Ucapannya membuatku malu. Apakah begitu kentara? Tidak! Jangan sampai dia tahu si hatiku.

Sstttt ... tenang, ini rahasia kita,” bisiknya lembut.

Aku tersentak kaget. Kudongakkan wajah untuk melihat matanya yang terletak 20 cm di atas ubun-ubunku. Jika aku hanya 160 cm, maka Mister Mike memiliki tinggi 180 cm.

“Ra-rahasia? A-apa?” Seingatku aku tak punya rahasia.

Mike kembali tersenyum misterius. “Rahasia, pokoknya.” Ia pun melangkah menuju kamarku untuk membaringkan Hawa. Kupanggil Nia untuk menemani gadis kecilku tidur, sementara aku bergegas meninggalkan mereka dan kembali ke auditorium untuk bergabung dengan lainnya. Masih kuberpikir keras, rahasia apa yang dimaksud Mister Mike? Dan kenapa dadaku terus berdebar seperti pertama kali bertemu Mas Danu?

Di saat aku masih melamun, mengingat-ingat kembali apa yang dikatakan pria blasteran itu di balkon, seseorang menepuk pundakku. Aku tersentak. “Ya, Mister..” ujarku tergelagap.

“Mister?” 

Ups, salah! Mengapa bisa salah menyebut orang? Tuhan, bagaimana ini? Di benakku kini penuh dengan Mister Mike. Sepertinya aku ketahuan!

***

Nah lho, siapa yang nepuk bahu Laras?

WANITA BERHATI BAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang