Kata Hati

4.2K 448 65
                                    

Setelah pertengkaran kemarin, kekuatanku mulai terkikis. Lelah terus menangis. Apalagi pada akhirnya, Mas Danu tetap pergi menemui wanita itu dan tidak pulang-pulang lagi hingga pagi.

“Kamu kerja hari ini?” tanyanya mendadak muncul di depan pintu kamarku ketika aku tengah bersiap kerja pagi ini. Tanpa kata, kujawab dengan anggukan.

Demi menutupi lebam tamparan di pipi kananku kemarin, terpaksa kukenakan riasan tebal. Agar berimbang, kupoles lipstik cerah untuk menghalau muramnya wajah.

“Kamu marah?” ia kembali bertanya, mengingatkanku pada peristiwa kemarin. Meskipun sudah kucegah, ia tetap pergi jua. Ia bilang hanya pergi sebentar, khawatir ada apa-apa dengan istri sirinya. Ia berjanji akan pulang sore untuk membawa anak-anak kami jalan-jalan. Namun janji tinggal janji, tak ditepati.

Jika hanya diriku yang dikecewakan, sudah biasa. Aku pun rela. Namun jika itu anak-anak, sungguh aku tak rela. Sebagai ibu, aku ingin membela mereka lebih dari siapapun.

“Kenapa diam?” ulangnya.

“Maaf, Mas, apakah perasaanku penting bagimu?” Kenapa repot-repot bertanya apa aku marah atau tidak? Marahnya diriku tak berarti baginya, sedihnya diriku tak pernah jadi beban hatinya. Jika hanya basa basi bertanya, aku tak punya daya untuk ikut basa basi menjawabnya.

Kuambil tas kerja. Berjalan pelan melewatinya yang bersandar di pintu kamar. Seketika ia cengkram lenganku. “Laras, aku tak bisa memaafkan jika kamu bermain api dengannya. Sekalipun hanya jalan berdua, jika aku melihatnya, maka itu adalah akhir hubungan kita. Ingatlah itu dan perhatikan sikapmu!”

Kutatap matanya, mencari cemburu yang kusebut itu cinta. Tapi tak ada apa-apa di sana selain keegoisan seorang pria yang tak mau kalah dari pria lainnya. Bukan karena ia mencintaiku, tapi karena ia tak rela seseorang merebut wanita miliknya. Mungkin baginya, aku hanyalah satu dari sekian banyak properti yang tak boleh dimiliki orang lain.

“Mengapa semudah itu bagimu, Mas? Sedang bagiku, melihatmu bersamanya tak kurang pedihnya dari sayatan pisau tajam.” Riak kristal bening mulai mengaburkan pandangan. Rasa kecewa membuat diri ini lemah dalam menahan air mata. Perlahan Mas Danu melepaskan cengkraman di lenganku.

“Aku akan mandi. Siapkan bajuku. Kita pergi sama-sama!” 

***

Sepanjang perjalanan, kuhanya diam. Begitupun Mas Danu. Ia konsentrasi menyetir tanpa menoleh-noleh lagi.

Gawainya berdering. Sekali lirik saja, aku tahu siapa yang menelepon. Gawai terus berdering tanpa ada tanda-tanda akan diangkat olehnya. Kulemparkan pandangan ke jendela di sisiku, pura-pura tak tahu. Andai membawa headset, ingin sekali kusumpal telinga agar tidak perlu mendengar apa-apa.

Gawai itu sesaat mati karena diabaikan. Namun tak lama kemudian kembali berbunyi. Deringnya berisik. Sangat mengusik. “Angkatlah, Mas. Mungkin dia membutuhkanmu pagi ini.”

Mas Danu salah tingkah. Sebelum mengangkat gawainya, ia berdehem untuk memulai berkomunikasi dengan wanita pujaannya di ujung sana. “Hallo,” sapanya. 

Berharap sekali tidak perlu mendengar ia menyapa wanita itu dengan nada lembut.

“Maaf, aku hari ini enggak bisa jemput kamu. Biar aku telepon supir kantor, ya, untuk jemput kamu. Kalau kamu masih enggak enak badan, istirahat di rumah saja.”

Jadi selama ini, ia selalu berangkat kantor bersama wanita itu? Jadi jok yang kududuki ini adalah jok yang biasa ia duduki? Sebagai istri aku jarang sekali duduk di mobil bersamanya. Bahkan bisa dihitung momen-momen kami pergi berdua. Seringnya, aku pergi bersama anak-anak dengan sopir keluarga.

WANITA BERHATI BAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang