Menemukan Mutiara

9 2 0
                                    

Dua tahun kemudian, aku sekeluarga pindah ke Kota lain namun tetap di Jawa Barat lebih tepatnya di Kota Kembang, Bandung. Kami pindah lagi-lagi karena urusan perekonomian. Di kota ini pula aku lagi-lagi dititipkan di rumah nenekku. Kali ini, nenek dari pihak ayah. Aku biasa memanggilnya Umi. Entah mengapa, aku merasa menemukan mutiara yang selama ini aku cari. Aku merasa bahwa kasih sayang nenekku lebih besar dari pada orang tuaku sendiri.

Walaupun sebelumnya aku tinggal bersama nenek yang dari keluarga Ibu, tapi aku merasa lebih pas dan nyaman tinggal bersama nenek yang sekarang aku panggil Umi ini.

"Nanti besar mau jadi apa?" Tanya nenekku.
Sambil bersender di pangkuannya, aku menjawab
"Aku ingin menjadi dokter atau Pengacara" jawabku. Layaknya jawaban anak-anak normal seperti biasanya. Nenekku tersenyum mendengar jawabanku.
"Semoga cita-cita dan keinginanmu tercapai."
Aku pun tersenyum kecil.

Suatu hari, aku pergi ke rumah orang tuaku. Lagi lagi, sambutan dingin yang aku dapatkan dari mereka. Padahal, saat itu hal yang sangat aku harapkan adalah kehangatan dari mereka. Aku pergi ke sana karena besok di sekolah ada pembagian rapot dan harus dihadiri orang tua atau wali. Tapi, aku sangat menginginkan orangtuaku yang menerima rapotku itu.

Awalnya aku ragu, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba.
"Assalaamu'alaikum..."
"Assalaamu'alaikum, maah.. paah.."
Mamaku pun membuka pintu rumah.
"Maa, paa.. besok ada pembagian rapot di Sekolah, mama atau papa datang yaa." Pintaku
"Papa aja lah, mama kan besok kerja" jawab mamaku
"Mama dong, papa juga punya urusan besok"
"Urusan apa? Kerja juga nggak. Sok soan sibuk."

Lagi - lagi, kenyataan yang kudapatkan tidak sejalan dengan apa yang aku harapkan. Aku yang saat itu masih kecil, sangat takut melihat kejadian tersebut dan langsung pulang ke rumah nenekku.

Papaku sebenarnya sangat perhatian kepadaku, tapi entah kenapa saat itu mungkin sedang banyak masalah sehingga ketika aku keluar rumah pun dia tidak berusaha mengejarku malah hanya terdiam begitu saja.

Melihat aku yang lari terengah-engah, nenekku keheranan.
"Kunaon cuu?" Tanya nenekku.
Aku enggan memberi tahu perihal apa yang baru saja aku lihat.
Aku pun menggelengkan kepala.
"Kenapa atuh kenapa ini teh?" Nenekku kembali bertanya
Lagi-lagi aku menggelengkan kepalaku.
Tidak lama kemudian, aku pun berbicara
"Besok teh ada pembagian rapot di sekolah mii. Umi yang ke sana ya?" Pintaku
Nenekku mengerinyitkan dahinya
"Kenapa gak mama papamu aja atuh?" Tanya nenekku
Lagi-lagi aku menggelengkan kepala.
"Ya sudah, besok Umi yang ke sekolah"
Mendengar jawaban itu, bibirku tersenyum kecil. Walau sebenarnya, aku menginginkan orang tuaku yang hadir. Kadang, aku iri ketika melihat teman-temanku begitu harmonis dengan orangtua mereka. Lain dengan diriku, dari kecil mungkin hanya 30% kasih sayang yang aku dapatkan. Tapi, setelah ada nenekku ini aku merasa ada teman dan tempat untuk berkeluh kesah tentang apapun yang aku rasakan.

Tak jarang nenekku selalu menguatkanku di kala aku sedih.
"Kamu kuat, cuuu" itu yang selalu dia katakan padaku.

Esoknya, nenekku menghadiri acara pembagian rapot tersebut. Sebelum dibagika, ada pengumuman juara 1 sampai 3. Saat itu, aku tidak berharap banyak karena melihat teman-temanku yang lain juga pintar-pintar.

“Dan.. juara pertama adalah… Amelia Kurniawan”

Aku terkejut sekaligus bahagia dan langsung memeluk nenekku yang berada di samping. Aku pun maju ke depan untuk menerima penghargaan.

Sayangnya, tidak ada orangtuaku hadir dalam acara itu. Tak apa, aku senang bisa melihat nenekku tersenyum bahagia.

Antara Keinginan dan KenyataanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang