Hujan, dan Rindu yang terselip

10 2 0
                                    


Disaat ini, kala angin berhembus begitu kencang menuju petang.
Langit pun begitu gelap seakan ingin runtuh di hadapanku.
Aku masih saja setia menatap jalan yang perlahan mulai di hiasi rerintikan hujan.
Semakin lama, ternyata hujan semakin banyak berjatuhan.
Aku kembali menatap langit, butir hujan menusuk wajahku berkali-kali.

Aku tetap berjalan menembus rapatnya hujan. Sedangkan di sekitarku, orang berlarian kian kemari mencari sekedar tempat berteduh.
Tatapan heran tergambar jelas pada wajah mereka, mungkin bagi mereka aku ini orang aneh yang santainya menembus hujan tanpa mantel ataupun payung.

Aku tak suka menunggu, apalagi ketika aku harus berteduh menunggu hujan yang aku tak tau kapan akan berhenti. Mungkin saja sebentar lagi, tapi juga mungkin saja besok baru berhenti.

Aku masih berjalan menyusuri ruang dan waktu ditemani hujan.
Tetesan air mulai menetes dari baju yang aku kenakan.
Dingin memang, tapi aku suka karna aku tak perlu berlama-lama menunggu jika aku memilih berteduh.

Sekarang aku sedang membuka pagar rumahku, lalu berjalan menuju pintu belakang yang terbuka.
Akupun langsung mengganti pakaianku yang sudah basah dengan pakaian yang hangat untuk musim hujan seperti ini.

Aku berjalan menuju dapur rumahku, mengambil gelas dan menyeduh coklat panas yang sangat cocok untuk menghangatkan tubuhku.

Sekarang aku sudah berdiri tepat di kaca jendela kamarku dengan secangkir coklat panas, rasanya hujan kali ini terasa sempurna.

Aku masih menatap lekat jalanan di luar sana sambil menikmati coklat panas buatanku sendiri.
Aku paham bahwa sekarang aku sedang memikirkan sesuatu yang membuatku nyaman berlama-lama menatap hujan.

Tik.

Tik.

Tik.

Apa kabarnya disana ya? Apa dia masih ingat padaku?
Itulah pertanyaan yang selalu aku kirimkan lewat hujan padanya. Tentang bagaimana aku rindu untuk sekedar menatap matanya.

Aku masih ingat dia.
Seseorang yang pernah hadir, yang aku lupa kapan dia mulai berada di sisiku. Yang aku juga lupa sejak kapan aku mulai nyaman saat bersamanya. Tapi aku tak pernah lupa bagaimana dia selalu membuatku tersenyum.

Aku masih ingat pertama kali dia mengajakku berkeliling di daerah yang baru beberapa bulan aku tempati.
Mengajakku melihat pantai sambil menikmati semilir angin, dengan obrolan ringan yang menyelimuti kami.
Lalu ketika malam beranjak, dia mengajakku mampir di sebuah kelenteng dengan begitu banyak lampion yang menyala.
Kami berjalan sambil menikmati cadburry dingin yang kami beli sebelum masuk kesana. Aku juga sempat mengambil beberapa foto kami sebelum keluar dari sana. Ya, foto itu satu-satunya kenangan yang tersisa.

Entahlah, aku begitu bahagia selama bersamanya.
Tapi keadaan saat itu membuat aku harus meninggalkannya demi hal lain.
Ya, aku egois ketika itu.

Sesaat, aku merasa mungkin aku dan dia tak di takdirkan untuk bersama.
Tapi lama setelah dia menjauh, aku merasa kehilangan. Aku merasa kosong.
Tak ada yang bisa menemaniku atau sekedar membuatku tersenyum.
Aku membutuhkannya, tapi aku terlalu naif untuk memahami perasaanku saat itu.
Terakhir, aku sadar bahwa aku mencintainya tepat saat dia telah menjauh karena salahku.

Ya, aku terlambat mengatakan bahwa aku mencintainya.
Mencintai orang yang pernah mengatakan bahwa aku adalah alasan dia bisa melupakan seseorang di masa lalunya.
Orang yang memberiku cinta sederhana yang begitu terpahat di hatiku, bahkan sampai saat ini.

Sekarang aku hanya bisa menitipkan ribuan rindu lewat hujan untuknya.
Semoga saja hujan mampu menyampaikan rinduku pada dia yang jauh disana.

***

Sebait RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang