Bagian Duapuluh Satu

840 69 110
                                    

Pukul 16:10 WIB

Di toko donat Afika.

"Mbak mau tahu kenapa aku dihukum?" Cahaya mendongakkan kepalanya saat Abi berada di balik meja kasir.

"Menghamburkan uang Papa kamu," jawab Cahaya.

Kepala Abi menggeleng. Dahi Cahaya bergelombang. "Trus? Apa dong?" Cahaya bertanya.

"Mbak mau tahu?" Cahaya menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan Abi.

Abi mencetak senyuman di wajahnya. "Mbak jangan bilang sama siapa-siapa yah," lagi-lagi Cahaya hanya menganggukkan kepalanya.

"Jadi, sebenarnya aku__"

"PERHATIAN SEMUA!!!!" jerit Afika tiba-tiba yang membuat orang-orang di tokonya kaget dan memalingkan wajah ke arah Afika, tak terkecuali Abi dan Cahaya.

"Ada apa bu?" tanya salah satu pegawainya.

"Kita hari ini pulang cepat!" beritahu Afika dengan wajah panik.

"Kenapa Oma?" Abi bertanya kepada Afika.

"Eyang … Eyang kamu sakit!" Abi membulatkan matanya, mendengarkan jawaban Omanya.

"Kata Opa, kita harus ke Eyang. Semua keluarga besar sudah kumpul. Kita disuruh Opa ke rumah Eyang sekarang. Makanya hari ini toko tutup lebih cepat. Saya berikan 20 menit untuk bersiap untuk menutup toko ini. Dan, kalian bawa pulang donat-donat yang belum terjual!"

Saat Afika menutup mulutnya, semua para pegawainya melaksanakan perkataannya. Abi pun tak luput, ikut membantu pegawai lain. Ia kebagian membuang sampah dengan hati sedikit kesal. Padahal ia tadi ingin bercerita dengan Cahaya. Menggunakan waktu luangnya, mumpung tidak ada orderan yang masuk.

20 menit berlalu. Para pegawai sudah berpulangan. Tirai toko sudah ditutup. Tinggal Afika dan Abi yabg masih di dalam toko, menunggu Dara menjemput.

"Bi, tante Dara udah mau nyampek, yuk keluar!" ajak sang Oma dengan meraih tasnya. Abi mengangguk patuh. Keduanya keluar dari ruangan Afika.

Namun, terkejutnya Abi, melihat Cahaya yang masih berdiri di depan toko sang nenek. Abi dapat melihat wajah Cahaya yang cemas, sambil memegang ponsel.

"Lho, mbak Aya masih di sini?" tegur Abi.

Cahaya menoleh. Wanita mengangguk.

"Lho Ay? Kok belum pulang?" tanya Afika yang baru selesai mengunci tokonya.

Cahaya memasang senyuman palsu. "Mas Langit belum jemput,"

"Uda ditelpon?" tanya Afika.

Cahaya mengangguk. "Sudah, tapi gak diangkat," beritahu Cahaya membuat Abi menggeram kesal.

Diiinnnn ....

Dara yang baru tiba, membunyikan klaksonnya. Agar ibu dan keponakannya masuk ke dalam mobilnya.

"Maa, ayo buruan. Papa uda ngomel itu!" seru Dara dari dalam mobil.

"Ouh, iyaa Dar!" sahut Afika. "Duh Ay, tante duluan yah, soalnya om uda nunggui di rumah. Kami mau lihat kondisi Eyang Abi yang kritis," dengan perasaan tak enak Afika pamit kepada Cahaya.

"Ouh iya tan, gak apa-apa. Hati-hati yah tan," kata Cahaya dengan diakhiri senyuman terpaksa.

"Abi ayok!" ajak Afika kepada cucu satu-satunya itu. "Abi ayokk! Buruan!" Afika menarik tangan Abi, akan tetapi lelaki itu tetap diam tak bergeming.

"ABI!" dengan nda tinggi Afika memanggil Abi. "Ayo cepatan! Opa uda nunggui kita!"

Abi melepaskan tangan Omanya. "Abi gak akan pergi, kalau mbak Aya masih berdiri di sini!"

Rumah TanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang