Kubiarkan air mata menyatu bersama dinginnya air hujan
Kubiarkan ingatan buruk menguap bersama suara hujan nan sayu***
"Lo serius mau jual dia ke mucikari?"
"Yap! Perlahan-lahan bikin dia terbang dulu, sampai terlena, ngasih seluruh kepercayaannya, menyerahkan hatinya, dan dengan sekali tarikan nafas, gue akan buat dia jatuh hingga ke dasar," jelas Senyawa.
"Apa itu tidak terlalu berlebihan, Wa?"
"I don't care! Apa wanita yang dia sebut Ibu memikirkan bagaimana perasaan, dan hidup keluarga gue saat memutuskan untuk merebut Ayah?" Mata sipit Senyawa tetap fokus pada layar komputer, sedangkan jari tangannya dengan cepat menghancurkan turret milik lawan.
Jeda.
"Agni sodara lo juga, Wa."
"No! Dia orang asing yang ikut numpang hidup bersama Ayah."
Killing Spree!
Dret ... dret ... dret ...
"Gue cuma engga mau lo terlibat masalah yang rumit."
Unstopable!
"Gue sudah siap menanggung, dan menerima setiap resikonya, Gan." Senyawa menaruh telunjuknya di bibir, mengisyaratkan Gani untuk diam. Dia sedang push rank.
Godlike!
Dret ... dret ... drett ...
10 kali panggilan tak terjawab
"Setan! Handphone lo ganggu, jangan ditaro di meja!" Anak laki-laki berseragam biru putih menendang kursi pemilik handphone tersebut.
Refleks Senyawa melirik anak laki-laki itu, satu tangan mengambil handphone yang dari tadi terus bergetar, dan memasukannya dalam saku celana.
"Sorry." Senyawa melirik sekilas anak laki-laki itu dengan tatapan datar, ia memilih mematikan komputer, lalu berjalan keluar. Tak lupa membayar biaya warnet.
Di ambang pintu kakinya berhenti melangkah, mata itu melihat sekitar dengan seksama. Awan mendung berwarna gelap mulai bergerak menutupi langit, hembusan angin menerpa wajah, dalam hitungan detik hujan turun secara perlahan. Bibirnya membentuk sebuah senyuman. Ia menyukai hujan dengan aroma di sekitarnya.
Senyawa meregangkan badan dengan penuh nikmat. Sudah dua jam, ia duduk di depan komputer untuk bermain Mobile Lagend. Ia merogoh handphone dari saku celana, ingin memastikan siapa yang menelepon tadi. Satu sisi bibir miring ke atas, tepat seperti dugaannya. Tertera nama Agni di layar handphone.
"Pyuh...! First Blood!" Tangan Senyawa membuat gerakan seperti menembak. Ia bersiul senang.
Mangsa sudah masuk perangkap!
Senyawa meninggalkan Gani teman mengobrolnya tadi di dalam warnet, lalu menghampiri vespa metic berwarna hitam. Sebelum menyalakan motor, ia mengambil satu keju kraft slice dari tas slempang sekolah, dan memakan keju lembaran itu hampir setengah, sisanya ia pegang untuk dimakan di jalan.
Senyawa memilih menerobos hujan yang tak begitu deras untuk kembali ke sekolah pada jam istirahat, meski seragamnya akan sedikit basah, namun suasana hati Senyawa terasa membaik.
***
"Siang, Pak Sobri," sapa Senyawa sesampai di depan gerbang sekolah tanpa membawa tas, motor di parkir di warung kopi yang berdekatan dengan sekolah, konon katanya tempat nongkrong siswa-siswa bandel.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLEEPING AT LAST
Teen FictionBerawal dari enam bulan resminya pernikahan Sang Ayah dengan istri kedua, satu keluarga lain perlahan-lahan masuk ke dalam ruang kehancuran. Anak kecil yang bernama Senyawa tumbuh besar bersama kepedihan serta kebencian. Ketika Senyawa tahu bahwa w...