Bisakah kita kembali saling melempar kata sapa?
Dan menyampaikan rasa suka cita.
Melihatmu tersenyum membuat mataku memerah
***
Langit pagi yang cerah di hari Senin seperti biasa, sinar matahari yang hangat menyelimuti manusia untuk mengawali segala aktivitas. Para pekerja harus berangkat sepagi mungkin, berebut naik angkot agar tidak mendapatkan teriakan dari atasan.
Anak-anak berseragam sekolah ikut bergegas sebelum sang surya semakin menampakan dirinya dengan sombong. Suara klakson saling bersahutan, dikala kendaran terjebak di jalanan yang tak bergerak. Sedangkan waktu terus berjalan meski kamu tengah terpuruk.
Namun, berbeda dengan Senyawa. Ia masih digulung dengan selimut, tubuhnya enggan beranjak dari tempat nyaman itu. Ia baru pulang tadi subuh sehabis mencari sesuap nasi, mata sipit itu belum sempat terpejam.
Upacara bendera menantinya.
Senyawa berangkat sekolah dengan kondisi kurang baik. Niatnya akan bolos, tapi hati kecil masih berbisik untuk kebaikan.
"Selamat pagi, Pak! Maaf, saya sedikit telat." Senyawa berdiri di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup.
"Tunggu saja di sana, upacara belum selesai," ujar Pak Sobri.
"Baik, Pak!" ucap Senyawa tidak semangat. Ia duduk di pinggir tembok.
"Kamu kenapa bisa telat, Wa?" tanya Pak Sobri, mereka berbicara terhalang oleh pagar.
"Baru pulang kerja tadi subuh, nganterin barang ke luar kota. Saya belum sempat tidur." Kepala Senyawa sudah menunduk menahan kantuk.
Pak Sobri tidak tega melihatnya, sepengetahuannya siswa tersebut belum pernah membuat kegaduhan di sekolah. Jadi, untuk sekarang ia akan memberikan keringan untuk masuk kelas tanpa hukuman.
"Kamu, nanti langsung masuk kelas."
Tidak ada jawaban, mungkin Senyawa terlelap.
***
Upacara selesai. Pak Sobri membuka gerbang sedikit, hanya untuk Senyawa bisa lewat saja.
"Wa, masuk!"
Senyawa bangkit dari duduk, tidak lupa mengucapkan terima kasih. Ia berjalan gontai menuju kelas, akan tetapi dewa keberuntungan sedang menjauhinya. Guru piket melihat Senyawa yang masih menengteng tas, memakai sweater, dan topi hitam.
Tidak seperti murid lain.
"Kamu! Yang pake topi hitam, berhenti."
Senyawa menunduk membelakangi guru piket, ia menghentikan langkah kakinya. "Sialan," umpat Senyawa dalam hati.
Guru piket menghampiri Senyawa tergesa-gesa, siap memberikan seribu nasihat, dan hukuman agar jera.
"Mau kemana kamu? Udah tahu telat main nyelonong aja. Tunggu di luar gerbang."
"Saya nggak telat, Pak! Hampir..., hampir telat. Kalau saya telat mana mungkin bisa masuk."
"Benar juga," pikir guru piket tersebut, karena murid lain yang telat sedang menunggu di luar gerbang. "Tapi, itu pakaian kamu tidak sama seperti murid lain yang ikut upacara."
"Tadi saat upacara saya buka, Pak. Saya taro di pos satpam, terus saya pake lagi. Namanya juga buru-buru, Pak, engga sempet naro ke kelas," jelas Senyawa penuh kebohongan, ia bersyukur kenapa otaknya mendadak bisa diajak kompromi.
Lancar banget membualnya.
"Masuk akal," ucap guru piket dalam hati. Ia mempersilahkan Senyawa untuk masuk kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SLEEPING AT LAST
Ficțiune adolescențiBerawal dari enam bulan resminya pernikahan Sang Ayah dengan istri kedua, satu keluarga lain perlahan-lahan masuk ke dalam ruang kehancuran. Anak kecil yang bernama Senyawa tumbuh besar bersama kepedihan serta kebencian. Ketika Senyawa tahu bahwa w...