[Chapter 2] Hampa

120 70 13
                                    

Mimpi yang kubangun dulu kini mulai memudar

Aku kehabisan tenaga

Aku kehilangan arah

Rasanya tidak mungkin untuk sampai

Bahagia bagiku ternyata tidak sesederhana kata orang-orang

***

Waktu menunjukan pukul sebelas malam, Senyawa baru menyelesaikan pekerjaan mengantar karangan bunga. Kini ia berada di angkringan sedang menyesap teh pahit hangat ditambah satu lembar keju, untuk menghilangkan dingin. Sejauh ini, ia telah melewati ribuan hari melakukan pekerjaannya. Dunia tak akan berbaik hati pada Senyawa, bila berdiam diri saja.

Dirasa sudah membaik, ia melanjutkan kembali perjalanan untuk pulang. Tak membutuhkan waktu lama, ia sampai di rumah bertingkat dua. Berwarna cat putih gading dengan aksen beberapa bagian dinding berwarna abu-abu. Halamannya tidak terlalu luas, sangat sederhana. Pohon-pohon di sekitar tertiup angin, seolah sedang berbisik.

Cklek... suara pintu terbuka.

Senyawa selalu membawa duplikat kunci rumah. Pertama kali matanya menangkap sosok wanita berumur sekitar 40 tahun tengah tertidur di sofa, itu adalah Bunda Rose. Ibu kandung Senyawa.

"Assalamualaikum, Bun," salam Senyawa setengah berbisik, kakinya melangkah pelan.

Tak ada jawaban.

Ditutup pintu rumah dengan hati-hati. Senyawa mendekat ke arah Bunda Rose, lalu berjongkok untuk membangunkan, agar pindah ke kamar tidur. "Bun...," panggil Senyawa lembut, tangannya menepuk bahu Bunda.

Tak ada respon.

Tepukan ketiga Bunda Rose terbangun, tersenyum hangat menyambut kedatangan Anaknya.

Senyawa merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, anak pertama yaitu Kakak perempuan bernama Azkia Radennawa Wanchu yang kini sudah menikah, dan mempunyai anak berusia satu tahun, tinggal di Singapura ikut bersama Suaminya. Terakhir Adik botot telah meninggal, akibat keguguran.

Senyawa besar dari keluarga yang tak utuh. Ketika usia menginjak 10 tahun Ayah Senyawa menikah dengan wanita lain secara diam-diam. Saat ini pernikahan tersebut telah dikaruniai tiga anak. Satu anak yang paling besar merupakan anak bawaan dari Istri kedua sebelum menikah dengan Ayah.

Ayah tak meninggalkan Bunda Rose.

Melalui perdebatan, pertengkaran yang sangat panjang, akhirnya Bunda legowo menerima untuk dimadu. Ayah merupakan pimpinan di sebuah perusahaan penerbangan, sedangkan Bunda Rose dulu bekerja sebagai Chef De Partie di resto milik keluarga.

Awalnya berjalan dengan baik, namun memasuki enam bulan pernikahan resmi dengan istri ke dua. Ayah Senyawa mulai jarang tidur di rumah mereka. Padahal sebelumnya, Ayah rutin mengunjungi mereka, ada tiga kali dalam seminggu. Hingga akhirnya, ia benar-benar melupakan keberadaan mereka.

Tidak memberi nafkah, dan melalaikan tanggung jawab atas biaya sekolah anak-anak. Bunda Rose tengah mengandung anak ke tiga, dan Teteh Azkia kuliah di Australia yang mana memerlukan biaya besar.

Satu tahun kehidupan Senyawa berada pada masa yang sangat kelam, hingga kesusahan untuk bernafas. Dalam dunia kejam ini, bagi Senyawa usia tidaklah ada artinya. Diseret secara paksa agar dewasa menyikapi semua. Senyawa bekerja serabutan membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pendapatan restoran tidak cukup untuk membayar biaya operasi keguguran Bunda, mempertahankan kuliah Teh Azkia yang tinggal dua semester. Keadaan Bunda yang kian memburuk, akhirnya dengan berat hati, menjual seluruh aset resto.

SLEEPING AT LASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang