Bagian 01: Pemberontak

105 11 7
                                    

Pagi senin menjadi hari yang pastinya banyak dikeluhkan oleh murid-murid. Apalagi murid-murid malas yang kadang kurang peduli terhadap konsekuensi apa yang akan dihadapi jika meninggalkan sekolah tanpa alasan yang jelas. Dan tak terkecuali, Nabilla Aelfar termasuk dalam jajaran murid-murid malas yang tercatat namanya di SMA Tri Sukma, sekolah bergengsi yang isinya anak-anak kaya yang gengsinya selangit. SMA Tri Sukma bukan sekolah yang terkenal karena prestasi yang gemilang, melainkan harga sekolah yang fantastis dan isinya merupakan anak-anak pejabat, selebritis atau bahkan anak pebisnis terkenal. Tapi walau begitu, SMA swasta itu begitu menjunjung kedisplinan para muridnya. Mereka tetap memberikan hukuman setelah murid-murid mendapat bimbingan konseling. Hukuman yang diberikan juga terkadang bervariasi, tapi Nabilla masabodoh dengan itu, karena menurutnya semua itu bisa teratasi dengan uang. Dia biasa melakukan transaksi illegal semacam ini dengan pemberi hukuman di sekolahnya yang membuatnya suka terbebas dari jerat hukuman yang kadang sudah bosan dia jalani.

Bukan tanpa alasan kenapa Nabilla malas sekolah pada hari senin, hari pertama dimulainya kegiatan setelah weekend. Itu karena ada satu ritual yang tak pernah ketinggalan di sekolahnya, apel pagi. Dia benci apel pagi di hari senin. Dia malas berbaris rapi dengan atribut lengkap menghiasi tubuhnya dari atas sampai bawah. Dia hanya ingin pergi sekolah dengan rok span di atas lututnya dan dasi tak terikat, juga baju seragam yang terlihat pas di badannya. Dia tak butuh atribut lengkap hanya untuk mendengarkan amanat pembina yang bertele-tele penyampaiannya dan tidak to the point ke mana akan dibawa pembicaraan tersebut. Terkadang pembina mengulangi hal yang sama. Amanat pembina bukan hal penting bagi Nabilla si murid pemberontak nomor satu se-Tri Sukma.

Ya, itu adalah alasan-alasan kenapa Nabilla benci hari senin. Dan seolah menjelaskan kebencian itu, gadis itu masih terlelap di kasur empuknya. Jam digital di nakasnya menunjukkan pukul enam lewat. Alarm dari ponselnya sudah berbunyi puluhan kali setiap lima menit sekali.

"Nabil! Nabilla!" Sebuah teriakan memanggil nama Nabilla disertai ketukan keras di pintu terus melayang, lebih keras dari bunyi alarm ponselnya yang gadis itu sengaja letakkan sendiri di samping bantal.

"Nabil, bangun! Udah telat, nih! Nanti kena hukuman lagi mampus lo!"

Teriakan itu membuat gadis berdarah campuran Jerman dari papanya itu menguap. Dia membuka matanya dan duduk. Matanya menatap pintu yang hampir roboh oleh ketukan dari luar sana. Dia tahu betul suara siapa itu. Kembarannya, Nathan Aelfar. Ini adalah alasan mengapa dirinya mengunci pintu kamarnya. Karena kalau tidak, kembarannya pasti akan mencoba menerobos masuk dan menyiramnya. Sepengalaman Nabilla ini selalu terjadi jika gadis itu lupa mengunci pintu kamar.

Dia berdiri membuka pintu kamarnya, lalu bersandar di kosen pintu. Kedua tangannya dilipat di depan dada dan menatap Nathan seolah tak punya dosa. Dia sedang berhadapan dengan saudaranya yang terlihat sudah sangat rapi memakai seragam sekolah yang jelas jauh berbeda dengan seragam sekolahnya. Lelaki itu juga ikut melipat kedua tangan dengan tatapan seakan hendak menelan Nabilla hidup-hidup jika tak segera bergegas.

"Lo bakalan telat," tegas Nathan menekan setiap kata. "Kalau emang gak niat sekolah, mending lo gak usah sekolah lagi aja sekalian," kata Nathan tampak memulai peperangan.

Tapi Nabilla hanya menganggap angin lalu apa yang dikatakan Nathan. Dirinya malah kembali ke kasur mencoba keras untuk tutup mata dan tidur kembali. Dia benar-benar tak niat sekolah hari ini, apalagi mengingat jam pertama adalah pelajaran sejarah. Telinganya seakan dapat mendengar suara-suara membosankan milik guru sejarahnya. Dia memeluk guling lebih erat, merapatkannya ke dalam dekapan.

Terjebak Indonesia JermanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang