15. Daun yang Berjatuhan

3K 314 78
                                    

Hari semakin gelap dan Solar masih belum sadarkan diri juga. Hari ini adalah hari Sabtu, dimana mereka berencana membawa Solar keluar dari Rumah Sakit sebentar untuk membuatnya lebih bersemangat lagi. Mereka pikir, mereka akan bersenang -senang tapi pada kenyataannya mereka harus menerima kenyataan pahit. Yang mereka miliki sekarang hanyalah sebuah harapan.

Waktu pun berlalu, kini jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Diantara mereka semua tidak ada satu pun yang ingin tidur, padahal kelopak matanya sudah tidak dapat menanggung beban lagi. Apalagi Ice, yang selalu tidur sebelum saudara-saudaranya kali ini matanya tetap berjaga demi melihat sang adik yang ditunggu-tunggu nya bangun dari tidurnya.

"Hoaaamm..." Thorn membekap mulutnya sendiri berusaha menyembunyikan rasa kantuknya dari para saudaranya.

Gempa yang kebetulan mendekati ranjang adik bungsunya, tersenyum kecil melihat adiknya yang satu itu sedang berusaha menahan rasa kantuk. Gempa mengacak-acak rambut adiknya itu, "tidurlah... Biar aku yang jaga Solar." Ucapnya.

Thorn mendongakkan kepalanya dan mendapati Gempa yang asik mengacak-acak rambutnya. Thorn kembali menatap sang adik, lalu meraih tangan kanan adiknya tersebut, "Tapi Thorn masih ingin menunggu Solar bangun." Jawabnya.

"Nanti Solar bangun kok, tapi Thorn harus tidur dulu." Ucap Gempa.

"Kalau Solar bangun, kakak bangunin Thorn, ya!"

"Iyah... Kakak bangunin kok nanti." Jawab Gempa.

Thorn pun bangkit dari duduknya, ia pergi ke tempat saudaranya yang lain berada. Alangkah terkejutnya ia melihat para saudaranya tersebut ternyata sudah tertidur pulas. Padahal tadi ia masih mendengar suara saudara-saudaranya itu. Tak mau ambil pusing, Thorn pun segera duduk disebelah kiri Taufan yang sedang tidur bersandar di kaki bangku. Lalu merebahkan tubuhnya di samping Taufan dan menjadikan paha kakaknya itu sebagai bantal.

Begitupun dengan Blaze yang berada disebelah kanan Taufan dan menjadikan paha kakaknya sebagai bantalan. Lalu di bangkunya pula ada  Halilintar yang bersandar sudah terlelap dalam tidurnya. Dan Ice yang berada disebelah kiri Halilintar dan menjadikan paha kakaknya sebagai bantalan. Gempa sendiri duduk di kursi sebelahnya Solar, yang pada awalnya masih terjaga, kini kelopak matanya benar-benar sudah menutup bola matanya. Karena sudah tidak tahan lagi, Gempa pun meletakkan kepalanya disebelah kanan Solar dengan kedua tangannya yang dijadikan sebagai bantalan.

Selang beberapa menit kemudian. Orang yang sedari tadi ditunggu- tunggu, kini kelopak matanya mulai terbuka secara perlahan. Setelah matanya terbuka lebar, ia melihat ke arah Gempa yang sedang tertidur disebelahnya. Kemudian pandangan nya beralih ke arah saudaranya yang lain yang sedang tertidur juga di bangku. Seulas senyum terukir di wajahnya. Baginya, itu merupakan pemandangan yang indah.

Cklekk...

Pintu kamar terbuka dengan perlahan-lahan dan memunculkan sosok laki-laki dewasa. "Kau bertindak ceroboh lagi?" Ucapnya.

"Ayah..." Kaget Solar dengan kedatangan ayahnya itu, dengan suara yang begitu kecil. "Maafkan aku..."

Amato sebagai seorang Ayah pun merasa sangat khawatir dengan keadaan anak terakhir itu. Ia berjalan mendekati anak terakhirnya itu, dengan suara langkah kaki-kaki yang begitu kecil agar anaknya yang lain dapat tertidur dengan nyenyak.

"Ayah... Kenapa... Bisa ada disini...?" Tanya Solar.

Amato membuang nafasnya pelan- pelan. "Tentu aku sangat khawatir pada mu. Dari semenjak kau masuk rumah sakit pun, Ayah selalu berada disini." Jawabnya.

"Eh?! Tapi--"

"Sudahlah tidak perlu kau pikirkan. Fokus pada penyembuhan saja." Sela Amato.

Solar terdiam sejenak, "penyembuhan, ya? Apa aku bisa sembuh? Padahal aku kira, aku benar-benar sudah--"

The Smallest BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang