15 : Kepedihan

65 2 0
                                    

Untuk orang-orang; saya dan kamu yang merasa bahwa kehidupan hanya dipenuhi oleh kepedihan.
        ---Terutama kita, seorang wanita.

Saya pernah mendengar bahwa, proses pendewasaan biasanya bermula dari; ujian. Maka, saya setuju. Ujian mendewasakan manusia--terkadang juga, memaksa mendewasakan. Karena dari; balita, remaja hingga orang dewasa pun di-uji. Muda ataupun tua tidak akan terlepas dari kepedihan.

Maka kata memaksa cukuplah bener, bukan? Tidak apa-apa, terpaksalah lalu terbiasalah dengan ujian.

Beberapa tragedi menyakitkan sering di alami oleh remaja dan juga orang dewasa. Penyebabnya pun banyak; broken home, bullying, kesehatan fisik/mental, pelecehan/kekerasan seksual, bahkan juga masalah cinta.

Terkadang self harm (menyakiti diri sendiri) adalah pilihan. Bahkan tidak sedikit yang berpikir; lebih baik mati. Mengertilah, bahwa kedua pilihan atau pikiran itu bukanlah suatu jalan keluar. Sekali lagi, itu bukanlah jalan keluar.

Saya mohon mengertilah.

Mungkin akan ada yang bilang, "Kamu nggak tahu rasanya jadi aku?!"

Hei, tenanglah dulu.

Kamu juga nggak akan tau rasanya jadi saya atau juga rasanya jadi; Ibumu, Ayahmu, Adikmu, Pamanmu, Tantemu dan lain-lainnya. Kamu juga nggak tahu kan rasanya jadi mereka? Maka sama, saya atau orang lain pun nggak akan tahu rasanya menjadi kamu.

Jelas yang mengerti rasanya--hanyalah kamu. Saya dan orang lain mungkin bisa disebut: pemeran pendamping dalam kehidupanmu dan jelas pemeran utama adalah kamu. Hei, coba analogikan saja bahwa hidup adalah panggung sandiwara. Dan cukup ingat saja, bahwa setiap pemeran utama terlebih dahulu menderita lalu tibalah kesenangan yang di beri nama; bahagia.

Kamu harus tahu, bahwa; Cinderella tidak selamanya sengsara, Bawang Putih tidak selamanya menyedihkan, Rapunzel tidak selamanya kesepian, Drupadi tidak selamanya merasakan ketidakadilan, Sinta tidak selamanya diragukan,--semua wanita tidak selamanya akan seperti itu. Cukup ingatlah, ada bahagia yang menanti.

Apa sekarang kamu merasa sedikit tenang?

Jika iya, syukurlah.

Jika belum, berusahalah tenang dengan perlahan; hapus air matamu, lalu tersenyum. Jangan lupa katakan pada dirimu, "semua akan baik-baik saja."

Saya akan menunggu.

Sudah?

Okay.

Mari berlanjut dengan keluhan seseorang. Begini katanya, "Hidupku penuh dengan kesedihan nggak ada bahagia-bahagianya. Nggak adil rasanya bagiku!"

Terulang lagi.

Kamu merasa seperti itu? Maka sama. Saya juga pernah merasa seperti itu. Bukankah hidup bagaikan kopi hitam? Kepahitan ini terlalu mendominasi. Sakit. Nggak ada semangat-semangatnya menikmati hidup. Iya kan? Lagi-lagi sama. Karena saya pun manusia, sama-sama pernah mengalami.

Tetapi mari coba ingat lagi rumusnya; terpaksalah lalu terbiasalah dengan ujian.

Dan juga, ingatlah fase kehidupan; sedih lalu bahagia dan bahagia lalu sedih.

1 rumus dan 1 fase.
Mudahkan mengingat itu? Tolong cobalah. Saya juga akan mencoba.

Sekali lagi, senyum.

Berhentilah mengucapkan, "Aku lelah." Semua manusia juga pernah merasakan lelah, bukan kamu saja--kita sama-sama lelah. Maka ayolah istirahat sebentar. Lalu setelahnya, kamu harus bangkit!

Setiap senyuman selalu dinanti oleh penikmatnya. Saya harap kamu mengerti, bahwa penikmat senyummu tengah menanti kebahagiaan dalam wajah cantikmu.

Ini nyata.

Dulu pernah ada yang berkata kepada saya, "Apakah kepedihan itu benar-benar menyakitimu? Hingga senyum indahmu telah tenggelam beberapa hari ini."

Saya menjawab, "Ya. Kepedihan ini sangat menyakitkan dan untuk tersenyum pun saya tidak sanggup."

Dia berkata lagi, "Saya juga pernah merasakan sedih yang mendalam. Lantas apakah kamu pikir saya terus tenggelam berlarut-larut dalam kepedihan itu? Tidak, Sin. Saya bangkit. Dan kamu juga bisa."

Mungkin perkataan itu sepele. Tapi bagi saya itu adalah penyemangat. Membagi derita dengan orang lain tidaklah salah, mungkin sebagian hanya ingin mendengar dan sebagian lainnya menenangkan. Jadi bagilah deritamu dengan orang lain--orang terdekatmu yang benar-benar kamu percayai akan menenangkanmu.

"Aku tidak punya teman berbagi!" kata seseorang.

Apa kamu yakin dengan ucapanmu?

Okay. Kamu yakin.

Begitupula saya. Saya juga yakin setiap orang pasti memiliki teman berbagi dalam derita. Maka bila memang kamu tidak punya, saya siap menjadi teman berbagimu.

Tetapi ingatlah; Jika setelah berbagi derita dengan saya tidak membuatmu tenang. Maka bagilah deritamu dengan Tuhan. Yakinlah bahwa Tuhan adalah sebaik-baiknya sandaran. Kamu harus menyakinin itu.

Sampai sini: bisa kita sepakat untuk bertahan menjalani hidup?

Okay. Kita sepakat.

Saya semangat, kamu juga harus semangat.

Saya bangkit, kamu juga harus bangkit.

Ayo, senyum dulu.

Sudah?

Dan marilah kita berpelukan!

•••

Kota Pahlawan,
Selasa, 3 November 2020
Tertanda, S I N T A 🌙

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang