26. Contritio ☕

256 44 25
                                    

-incurable disease-

Happy-Reading

.

.

.

Seorang penggemar sains memang punya cara pandang yang berbeda dengan spesies manusia lain. Rean adalah salah satunya. Di dunia ini, mungkin hanya Rean yang menikmati hujan dengan menyaksikan tiap butiran air yang jatuh menubruk permukan sembari memikirkan persoalan tegangan antar muka yang ia pelajari di mata kuliah Farmasi Fisika, atau memperkirakan penurunan  keofesien gaya gesek yang memperkecil hambatan ban motornya yang sedang melaju menembus derasnya hujan.

Rean bukan tidak ingin berteduh dan membiarkan hipotalamus mereset kenaikan suhu tubuhnya malam nanti, namun sudah terlanjur basah, ya sudah mandi sekali. Di tengah kemacetan tadi hujan mengguyur tanpa aba-aba. Ia hanya sempat menarik bag raincoat untuk melindungi laptop, ponsel, dan laporannya yang sudah mendapat ACC di dalam ranselnya. Sungguh tidak lucu bila harus menulis ulang,  bahkan untuk seorang dengan ambidexteritas sepertinya.

Saat intensitas hujan makin deras, Rean membelokkan motornya di kompleks perumahan Chelia yang kebetulan searah dengan rumah Rama. Jarak pandangnya semakin berkurang, berkendara dengan keadaan seperti itu berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Setelah sedikit kesulitan memindai sidik jari pada kotak finger print di depan gerbang rumah Chelia akibat jarinya yang basah, Rean bersegera memarkirkan motornya di garasi. Mobil Riva tidak ada di sana. Rean melirik jam tangannya sekilas, sudah jam pulang kantor, barangkali Riva lembur atau terjebak kemacetan. Pandangannya kemudian ia sapukan pada lemari sepatu di pojok teras. Tidak ada sepatu yang ia kenali di sana, baik milik Rama maupun Erva--dua orang yang paling sering menemani Chelia di rumah.

Rean memilih menyandarkan dirinya pada kursi santai yang berderet di teras. Besar kemungkinan Chelia sedang sendirian di dalam dan ia tidak ingin mengganggu privasinya, apalagi dalam keadaan seperti demikian. Namun sesaat sebelum matanya terpejam, bunyi panel pintu membuat Rean tersentak dan menoleh.

"Ya ampun, Rean! Sejak kapan kamu ada di sini?"

Rean menegakkan duduk dan meringis tertahan. "Barusan."

Bila saja titik-tiik air tidak menetes dari rambut dan pinggiran jaket Rean, Chelia tentu akan menyangsikan jawaban tersebut. Lantas ditatapnya Rean dengan khawatir. "Kamu kehujanan begini, kenapa tidak masuk?"

"Sudah terlanjur basah, Chelly," balas Rean sebisa mungkin menyakinkan.

Chelia memasang wajah cemberut. "Terlanjur basah, jangan dibiarkan terlanjur sakit lagi! Ayo, masuk!"

Rean tidak lagi membatah dan menurut saja saat Chelia menariknya masuk. Napasnya terhela perlahan melihat Chelia langsung berlari menyusuri tangga dan kembali dengan membawa handuk dan hair dryer. Sebab ini pula ia tidak berniat mengetuk pintu. Chelia pasti akan kerepotan karenanya.

"Tunggu sebentar ya, Rean. Kucarikan baju Kak Riva dulu."

Tanpa sempat Rean cegah, Chelia sudah berbalik pergi setelah membuka kamar tamu untuknya. Rean melangkah masuk sembari merutuki diri karena merepotkan Chelia lagi dan lagi. Kamar tersebut sudah sering digunakannya bersama Rama dan Edward bila kebetulan mereka ada urusan dengan Riva yang tidak selesai dalam semalam. Di sebelah ada satu kamar tamu lagi, namun Erva, Naya, dan Cassy selalu  tidur berempat di kamar Chelia.

Prescriptio☕  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang